About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Sunday, January 15, 2012

Seminyak

Ada milik kami 
yang tertinggal di cafe ini:

masa lalu bersama bapak ibu,
tawa renyah di hangat rumah,
taman bermain di pantai berangin.

Ada milik mereka
yang dipinjamkan pada kami kini:

hidup kami hari ini,
hidup kami esok hari. 

(Seminyak, Januari 2008)

Thursday, January 12, 2012

Jembatan

Mereka bangun jembatan,
menghubungkan masa lalu di kiri
dengan masa depan di kanan.
Kita di tengahnya,
terhimpit di sisa ruang.

Teriakan kita tertelan
oleh riuh harapan
dan kicau ingatan.
Wujud kita tenggelam
oleh bayang-bayang.

Kamu tak lagi sabar,
mengajakku lari ke seberang.

"Kanan atau kiri?"tanyamu.

"Ke kanan kita berpisah,
ke kiri kita tidak bertemu," jawabku.

(Siak, Desember 2006)

Kereta ke Pariaman

Besi panjang itu
tinggalkan Padang
tanpa penumpang.
Ia penuhi janjinya
untuk selalu pulang
tiap akhir pekan.

Duka mengemudikannya,
Sepi duduk di bangkunya,
Tangis berdiri di tiap deritnya.

Tiap bukit yang ia lalui
menyeka air matanya.
Tiap sungai yang ia jumpai
membasuh pedihnya.
Sawah-sawah hijau
mengairi kering hatinya.

Besi panjang itu
pulang ke Pariaman
yang telah hilang.

(Pariaman, Oktober 2009)

Puing

Dua bocah menyusup celah,
masuk ke rongga puing
yang kemarin adalah rumah,
menyusul ayah ibu mereka
yang sedang terbaring.

Mereka susuri dinding,
mengikuti bau anyir
seperti suara ibu memanggil,
mengendus desah
untuk temukan ayah.

Berhari-hari mencari
sampai mereka dapati
ayah ibu menari-nari
di celah sempit
yang tak bisa dimasuki kaki.

(Padang, Oktober 2009)

Monday, January 09, 2012

Air Terjun

Seperti selendang panjang
menjuntai
dari pundak seorang ibu
hingga menyentuh lantai.

Seperti anak air
meluncur
pada papan lengkung
di samping anak angin
yang berayun lentur.

Seperti rindumu
yang deras mengguyur
hati batu yang bosan
menunggu.

(Lawu, September 2009)

Friday, January 06, 2012

Ratu Kidul

Derap kuda dari kejauhan,
langit redup memberi salam.
Kereta emas muncul di cakrawala,
laut membuka gerbangnya.
Sang Ratu pulang ke istana.

Gerbang kembali tertutup,
laut mendadak surut.
Seekor naga penjaga
menjulurkan lidahnya,
menghisap semua
yang di depan mata.

Turis-turis lari ketakutan,
nelayan pasrah dalam hormat.
Angin menyiulkan tembang,
pasir mendengarkan penuh khidmat.

Lima kedipan mata
seperti selamanya.
Sang Ratu hanya
sedang bercanda.
Sang Laut hanya
melepas bebannya.

(Gunung Kidul, September 2009)

Tanah Dijual

Dijual cepat segenggam tanah.
Butuh uang untuk bayar sekolah.

Dijual cepat tanpa perantara.
Langsung hubungi pemiliknya
di ujung jalan raya,
bersebelahan dengan panti derita.

Dijual murah, bisa ditawar
harganya hanya semiliar.

 ***
Seminggu menanti,
calon pembeli datang hari ini.
Ia membawa tas penuh uang
yang diambil dari banyak bank.

"Aku beli tanahmu tunai," katanya.
 Pemilik tanah melongo tak percaya.

"Aku butuh tempat sembunyi
dari kejaran polisi."
Pemilik tanah masih tak mengerti.

"Aku punya uang hasil korupsi,
ini rejeki harus dibagi-bagi."

Pemilik tanah langsung girang.
Ia tak lagi heran.
Segenggam tanahnya
kini telah ditukar dengan uang.

(Gili Meno, Desember 2008)

Wednesday, January 04, 2012

Pendakian

Tubuhmu begitu tinggi.
Nyeri menggerayangi kaki.
Ingin aku berhenti
tapi lambaian tangamu
memanaskan hati.

"Kau menyerah?"
tanyamu bikin gerah.
Senyummu mengundang gairah.

"Ah, mendakiku saja kau tak mampu."
Kau makin kurang ajar,
hatiku kian terbakar.

Kubuang beban punggungku.
Kutinggalkan kaki-kaki manjaku.
Kulepaskan kepala besarku.

Aku menujumu
hanya dengan hatiku.

(Rinjani, Juni 2011)

Sandal Jepit


Pagi ini ia nyelonong masuk istana,
hanya mau tahu ada apa di sana.
Tentara memburunya untuk dipenjara:
"Kamu sudah menghina negara."

Ia melarikan diri dan sembunyi
di gedung belanja tertinggi.
Sial, ia tertangkap satpam patroli,
diarak, ditendang, dipukuli:
"Sandal jepit tak boleh ke sini."

Babak belur ia berjalan terseok
sampai ke gang paling pelosok.
Ia masuk ke masjid yang sepi,
tertidur sampai tak ada matahari.
Saat bangun orang berkerumun:
"Ini rumah Tuhan yang kami junjung."

Orang-orang yang marah
membuangnya ke kali.
Larut dalam sampah,
hanyut bersama tai.

Di ujung kali ia bertemu lautan,
terapung jauh sampai daratan.
Terdampar di pulau sunyi,
tak ada lagi yang peduli.

(Tanjung Benoa, Januari 2008)