
Masih banyak lagi versi gambar lainnya. Meskipun hampir selalu ada unsur yang sama dalam setiap gambar - gunung, pohon, dan sawah - masing-masing gambar tetap berbeda. Misalnya gambar gunung. Ada yang menggambar tiga gunung, dua gunung, atau satu gunung. Dan semuanya benar. Mereka mengerjakan tugasnya untuk menggambar apa yang ada di desa mereka, Kampung Palak, Padang Pariaman.
Tiga gunung adalah penggambaran Gunung Tigo, dua gunung untuk Gunung Erte Erwe, dan satu gunung berarti Gunung Tandike. Semuanya ada di desa mereka. Begitu juga sawah, pohon kelapa, sungai, dan gambar sampan yang menurut mereka adalah orang yang sedang memancing di sungai desa.
Yudi (kelas 6 SD) memilih merekam keindahan desanya dalam tulisan. Ia membuat karangan singkat tentang keindahan Kampung Palak. Gunung, sawah, udara, dan keramahan penduduknya. Kalau yang lain menceritakan arti gambar yang dibuatnya, Yudi membacakan karangannya.
Yudi memiliki minat besar pada tulis menulis. Pada bagian lain, Yudi menuliskan bagaimana bencana terjadi di desanya. Dengan detail dia menerangkan tentang tanah yang longsor, rumah yang rusak, dan bagaimana dia bersama teman-temannya panik saat bencana terjadi. Di bagian akhir tulisan, Yudi mengungkapkan rasa syukurnya pada Tuhan karena bisa selamat dari bencana. Ia juga berharap agar sekolah dan rumahnya yang roboh segera diperbaiki.

Setiap hari jalanan Kampung Palak ramai dengan lalu lalang kendaraan yang membawa bantuan atau relawan evakuasi. Kampung Palak adalah desa yang berbatasan dengan tiga desa yang tertimbun tanah longsor, yang kini hendak dijadikan kuburan masal.
Anak-anak yang meminta-minta di jalanan tidak hanya ada di Kampung Palak, tapi di setiap jalan yang menuju ke tiga desa yang longsor. Memang tidak ada nyawa yang melayang di luar tiga desa itu. Tapi hampir seluruh bangunan rusak. Tidak ada air bersih dan listrik.
Saya datang ke daerah itu pada hari keenam bencana. Segala tekad dari Jakarta luruh ketika berhadapan dengan barisan anak yang hanya peduli pada kardus-kardus yang dipegangnya. Bingung, kecewa, sekaligus marah.
Sedemikian tidak berdayakah orang tua mereka untuk datang ke posko terdekat, mengambil sembako yang sebenarnya stoknya selalu ada. Juga sebegitu bodohkah cara pendistribusian bantuan sehingga anak-anak mengemis di sepanjang jalan. Alih-alih membantu dengan memberdayakan, saya melemparkan begitu saja susu dan makanan anak ke dalam kardus-kardus itu.
Saya ragu sekaligus takut, apakah dalam kondisi seperti ini mereka masih peduli pada buku dan pena. Dua benda itu masih tersimpan rapat di dalam kardus, tak berani saya keluarkan. Pelan-pelan saya lalu mencobanya. Memberikan buku pada seorang anak perempuan yang duduk kelelahan di sebuah kursi di depan rumahnya yang roboh. Kardus alat meminta-minta masih ada di pangkuannya.
Diluar dugaan saya, anak itu menerima buku dengan begitu gembira. Rasa iba, haru, syukur, dan girang, menjelma menjadi satu tekad baru. Di tenda (sebenarnya hanya goni) yang terpasang di depan rumahnya saya memulai semuanya. Memanggil anak-anak yang masih ada di jalanan, membagikan susu, buku, lalu mulai bersenang-senang.
Keramaian bocah-bocah itu seperti menjadi magnet. Mobil-mobil bantuan berhenti silih berganti di depan tenda. Seseorang membagikan uang dua ribuan pada masing-masing anak. Ada yang memberi empat stoples berisi kue kering. Lalu beras dan berbagai sembako. Semua menjadi terlihat begitu manusiawi disini. Tak ada anak-anak yang meminta atau berebut sumbangan. Orang-orang berhenti dengan sukarela, mendekati mereka, berbagi dengan penuh kasih.
Di sini saya mengerti. Segala sesuatu memang harus ada yang memulai. Tanpa saling menunggu dan bergantung. Tanpa saling mencela atau menyalahkan. Pembangunan gedung sekolah yang baru memang perlu waktu. Tapi mengembalikan hak mereka untuk belajar hanya butuh sebuah tekad dan ketulusan.

3 comments:
Tulisanmu makin mateng wae ki. Koyo duren sing mateng nang uwit. Suedep! Nulis-nulis sing okeh yo. Ben aku yo ono sing diwoco.
hehe..nuwun za, asal ojo sampai bosok wae :D
Post a Comment