About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Monday, November 02, 2009

Politik Ranjang

Kata siapa cinta dan pernikahan menyatukan dua manusia?

Ada banyak ketidaksatuan antara saya dan Abdul dalam memandang suatu perkara. Perkara yang saya maksudkan ini adalah hal-hal umum, terjadi jauh di luar tempat tinggal kami, dan tidak punya urusan langsung dengan kami selain disambungkan oleh gambar-gambar di televisi atau tulisan-tulisan di koran dan buku.

Ketidaksatuan ini mengemuka dalam setiap sesi ngerumpi kami, yang biasanya dilakukan di pagi hari setelah mata melek dan di malam hari sebelum tidur. Kasur kami, yang kian hari makin kempes itu, menjadi tempat paling produktif di tempat tinggal kami. Mulai dari urusan sosialisme dan kapitalisme sampai urusan orgasme (haha).

Waktu kasus Siti Hajar terjadi, saya berkata memang seharusnya tidak ada lagi pengiriman tenaga kerja ke luar negeri kalau hanya jadi babu. Boleh eksport tenaga kerja ke luar negeri, tapi itu harus tenaga kerja yang terdidik, yang punya keahlian. Kerja di negeri orang harus membawa kebanggaan bukan malah jadi korban penyiksaan. Pemerintah harus kerja keras memikirkan lapangan kerja untuk mereka di negeri sendiri. Lagipula kemana larinya semua sumber daya alam negeri ini?

Abdul tidak sepakat dengan pelarangan. Biarkan saja mereka bekerja di negeri orang walaupun jadi babu. Penghasilan mereka jelas-jelas telah membantu meningkatkan devisa. Selain itu, faktanya di dalam negeri tidak tersedia lapangan kerja. Yang harus dilakukan adalah membenahi sistem. PJTKI harus kerja sesuai aturan, KBRI harus peduli pada warga negaranya dan melakukan kontrol yang rutin pada setiap pekerja. Petugas KBRI sebulan sekali mendatangi TKI, memastikan tidak ada penyiksaan, gaji diterima teratur, dan paspor tidak disembunyikan majikan.

Suatu hari kami terjebak kemacetan akibat pasar kaget di pinggir jalan. Saya bilang, pemerintah harusnya membangun pasar yang layak untuk mereka. Lokasinya harus di pinggir jalan, gampang diakses pembeli, sehingga mendatangkan banyak keuntungan untuk pedagang tanpa mengganggu lalu lintas. Abdul bilang, ini akibat pemerintah yang tidak tegas menerapkan peraturan. Kata dia, untuk hal-hal tertentu kita harus fair dan mengakui bahwa mental manusialah sumber masalahnya.

Abdul sangat tahu saya orang yang akan selalu menolak kenaikan anggaran pertahanan atau militer. Waktu banyak pesawat TNI jatuh, lalu semua orang ribut mendukung kenaikan anggaran, saya justru berpikir sebaliknya. Kesehatan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan perut jauh lebih mendesak dibanding membeli pesawat baru. Kalau memang nyatanya pesawat tempur sudah tidak layak terbang, ya tidak perlulah latihan-latihan terbang dulu. Lagipula di atas segalanya, saya percaya dunia akan lebih menyenangkan tanpa senjata.

Dalam hal ini, Abdul berdiri di seberang saya. Sebagai orang yang sama-sama pernah belajar ilmu Hubungan Internasional, kami tahu, kami berada di titik yang saling bertolak belakang : idealis dan realis. Tentu saja saya yang idealis dan Abdul lebih cenderung realis. Saya percaya bahwa semua manusia dasarnya baik dan perang tidak akan terjadi kalau tidak ada senjata. Sementara Abdul meyakini manusia pada dasarnya selalu ingin bersaing, berebut kekuasaan, karena itu masing-masing perlu memiliki senjata agar tidak tertindas oleh yang lain.

Keyakinan dalam memandang sifat manusia ini juga menjadi pangkal perbedaan kami dalam 'memilih' sistem pemerintahan yang bisa membawa kesejahteraan pada semua orang. Kalimat Abdul yang selalu saya ingat adalah,"Marx gagal memasukkan fakta bahwa sifat dasar manusia adalah selalu ingin bersaing."

Saya akan menjawab, "Jika kebutuhan hidup layak, pendidikan dan kesehatan sudah dipenuhi, bukankah persaingan tidak perlu diidentikkan dengan uang? Persaingan adalah soal karya, soal prestasi, soal bagaimana masing-masing manusia berguna untuk yang lainnya."

Lalu dia akan berkata, "Bagaimana dengan keinginan orang untuk berkuasa?"

"Kekuasaan sebagaimana politik. Dapatkanlah dengan proses yang benar," kata saya.

"Tidak bisa. Siapa yang punya uang lebih besar, dia yang lebih berkuasa."

Di lain waktu, saat saya menggugat pengelolaan sumber daya alam oleh asing, dia balik bertanya, "Siapkah kita untuk percaya pegawai-pegawai negara tidak akan korupsi kalau diberi kewenangan untuk mengelola?"

Saya diam. Di titik ini saya sadar kami sedang berdiri berhimpitan. Memandang satu hal dari satu sudut, meski kemudian mengungkapkannya dalam bahasa yang berbeda. Saat pembicaraan berlanjut, kami sepaham bahwa korupsi adalah pangkal banyak masalah di negeri ini. TKI yang disiksa, kecelakaan pesawat, orang-orang yang tak berpendidikan dan sekolah yang tak terjangkau, dan sumber daya alam yang masih dikangkangi orang-orang dari negeri antah berantah.

Kami juga sepaham bahwa kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman adalah lembaga yang masih sulit dipercayai di negeri ini. Saya bilang perlu ada potong generasi, pensiun dini pada orang-orang yang umurnya sudah lima puluh tahun ke atas. Abdul bilang butuh sebuah revolusi di tiga lembaga itu. Reformasi saja tidak akan pernah cukup.

Saya bilang susah memberantas korupsi kalau penguasanya juga korupsi. Abdul bilang itu karena penguasanya dungu, terlalu banyak punya utang budi pada orang lain.

Ya, ya, ya, kami memang selalu berbeda. *wink*

1 comments:

yayun said...

Ya ya ya.....Berbeda untuk saling melengkapi Ky.......