Hari Minggu pertama bulan Oktober. Hujan deras di Kalibata. Melalui jendela yang sedikit terbuka, saya bisa merasakan percikan-percikan air membasahi lengan. Sesekali hembusan angin menerbangkan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.
Hujan di hari Minggu bukanlah hal yang menyenangkan. Banyak orang yang harus menunda berangkat ke tempat belanja, menanti dalam gerutu yang membosankan. Orang-orang yang lain sibuk menelpon seseorang di tempat yang berbeda, mengabarkan keterlambatan atau penundaan atas janji pertemuan. Dan sebagian lainnya menyandarkan tubuh di tembok-tembok bangunan yang terkunci, menyembunyikan diri dari air yang mengguyur jalanan, dengan wajah yang tidak sabar.
Dan kami nyaris melewatkan hujan itu sebagaimana biasanya. Meringkuk di depan televisi, menyaksikan reporter-reporter berambut merah menyiarkan kabar dari tanah Minang. Sampai kemudian keinginan itu muncul begitu saja. Merayakan hujan, sebagaimana kami merayakan langit biru dan matahari terbenam.
Kami berlari ke luar rumah. Menyusuri jalanan yang basah, melewati air-air yang tergenang, menuju sebuah lapangan bola. Merasakan dinginnya air yang merembes ke balik baju. Sesekali mendongakkan kepala, membuka mulut, membiarkan air masuk ke dalam kerongkongan.
Inilah perayaan. Saat kami bisa berjingkrak riang dan tertawa lepas. Inilah syukur. Saat tak ada keluh dan tak lagi meminta apa yang tak ada. Inilah hidup. Saat kami bergandengan mesra dengan waktu, berjalan seiring tanpa merasa ditinggal atau meninggalkan.
Lalu kami teringat hujan di tempat lain. Tak ada perayaan karena tak ada yang tertawa riang. Tak ada syukur, karena setiap orang meminta Tuhan merubah keadaan. Bukan pula sebuah kehidupan, karena setiap orang berhadapan dengan kematian.
Di sana orang-orang tak lagi punya atap. Bukan seperti pramuka yang kemudian bisa tidur nyenyak dibawah tenda beralaskan tikar. Tak semua punya tenda, tak semua punya tikar. Semuanya kedinginan, semuanya kelaparan. Dan entah kenapa, di tempat yang sudah bergetar seperti itu, hujan mengguyur sepanjang malam.
Kami berduka. Kami turut juga merasakan. Sehingga tak perlu lagi bertanya, "Bagaimana perasaan, Anda?"
Kami berdoa dalam perayaan. Agar kita saling menguatkan dan saling mengingatkan.
Monday, October 05, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment