Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?
Sawah-sawah yang selalu hijau, di tanah datar atau lereng-lereng yang curam. Jalan utama yang hanya cukup untuk dua mobil, dengan toko-toko kecil di kiri kananya. Di ujung sana ada sebuah gunung, tinggi tapi tak angkuh. Dengan puncak yang landai dan cenderung rata.
Sungai-sungai berbatu yang deras saat musim penghujan, air terjun yang membuat tubuh beku, dan sebuah telaga di tengah pohon-pohon pinus.
Udara yang senantiasa bersih, meski tak selalu dingin dan tahun-tahun belakangan menjadi kering waktu kemarau. Matahari yang muncul dari balik rumah tetangga dan menghilang di sebuah pematang. Waktu yang selalu melambat, membiarkan semua orang berbaringan menikmati siang di teras belakang rumah.
Truk-truk pengangkut tebu yang berlalu lalang saat musim tebang. Juga bau yang khas saat melewati pabrik pembuat gula.
Desa-desa yang rapi. Rumah joglo tua dengan kandang-kandang di sampingnya. Mangga-mangga yang bergelantungan di setiap halaman. Menua, menguning, hingga codot-codot memakannya.
Anak-anak sekolah yang bersepeda atau berebut angkota. Pegawai-pegawai yang pulang ke rumah saat hari masih terang. Ibu-ibu yang duduk sambil mengobrol di warung kelontong dekat rumah.
Sego pecel yang tak pernah membosankan meski dimakan setiap pagi selama bertahun-tahun, gule kambing yang nikmat, juga ayam panggang sisa selametan yang selalu terbayang saat sedang menikmati ayam goreng dari negeri seberang.
Bagaimana bisa aku tak menyadarinya?
Friday, September 18, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment