Potret ini saya jumpai di salah satu ruangan The Blanco Renaissance Museum, di Ubud, Bali. Bersandingan dengan potret-potret lain yang menceritakan kehidupan pribadi Don Antonio Blanco. Tentang masa mudanya, keluarganya, dan kesehariannya.
Potret berangka tahun 1952 itu begitu menarik perhatian saya. Di situ digambarkan bagaimana Blanco muda sedang berpose bersama teman-temanya di sebuah sawah di Bali. Blanco bertelanjang dada dan berikat kepala. Potret itu - secara kasat mata- menyimbolkan peleburan diri laki-laki berdarah Spanyol itu dalam kehidupan Bali. Ya orang-orangnya, ya alamnya.
Bali dengan segala keindahan dan keramahan orang-orangnya dan tentu saja kecantikan perempuannya merupakan sumber inspirasi lukisan-lukisan Blanco. Lekuk-lekuk tubuh perempuan Bali diabadikan dalam banyak goresan kuasnya. Tubuh-tubuh tanpa busana dengan tatapan yang ekspresif memenuhi ruangan utama museum Blanco. Ni Ronji, perempuan Bali pertama yang menjadi model lukisannya, belakangan diperistrinya.
Museum Blanco berdiri di tanah seluas dua hektar, yang merupakan hadiah dari Raja Ubud. Blanco dianggap bersaja mengenalkan Ubud ke dunia internasional. Di tanah itulah Blanco menuangkan segala angan-angannya tentang sebuah tempat tinggal dan ruang memajang semua karyanya.
Bangunan yang begitu nyeni, suasana yang tenang dengan iringan musik klasik, halaman yang asri, dan sebuah bunga kamboja yang diberikan pada setiap pengunjung, seolah ingin mengatakan inilah wajah Bali yang sebenarnya. Indah, penuh inspirasi. Ramah, tak pernah membedakan siapa yang datang.
Perempuan-perempuan berkain menyapa semua orang. Menawarkan anak-anak berfoto dengan burung kakaktua koleksi Blanco, menunjukkan ruangan-ruangan yang belum didatangi. Lembut dan menyenangkan. Mungkin seperti itulah gambaran Blanco tentang Ni Ronji dan perempuan-perempuan Bali yang diabadikan gambarnya.
Museum Blanco menjadi semacam penawar atas sebuah gugatan dari sepanjang Kuta, Seminyak, hingga Lovina. Rumah Blanco ini menjadi pelipur atas bertumpuk rasa kecewa yang senantiasa berulang setiap kali kami datang ke Bali. Tatapan tidak bersahabat, kata-kata ketus, dan pelayanan seadanya. Sangat berbeda ketika orang-orang berambut pirang, berkulit putih yang dihadapi. Maafkan jika kami terlalu dini membuat kesimpulan. Tapi masih bisakah dibilang kebetulan jika hal yang sama selalu berulang setiap kali kami datang?
Apakah orang Bali lupa, keindahan bukan satu-satunya yang menarik minat orang. Dan bule bukanlah satu-satunya sumber penghasilan. Tak mengherankan jika kemudian orang-orangIndonesia lebih senang berlibur ke Singapura atau Thailand, dimana mereka selalu merasa dinantikan dan dimuliakan. Kalaupun masih di Indonesia, banyak tempat-tempat lain di Indonesia yang lebih memiliki keduanya : keindahan dan keramahan.
Oh Bali yang rupawan...haruskah kelak kami datang hanya untuk Blanco seorang?
Thursday, September 17, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment