Namaku Si Biri-Biri. Aku tinggal di tempat yang tinggi yang selalu dingin dan dipenuhi kabut. Di tempatku ini, langit menjadi begitu rendah, menggelantung di atas kepalaku.
Di sinilah para dewa tinggal. Bersemayam lalu dipuja banyak orang. Walaupun aku tak pernah melihatnya, aku mempercayainya. Bukankah dewa memang menyukai tempat yang tinggi?
Berkat para dewa tempat ini menjadi begitu indah. Pematang rumput yang luas, tempat aku sepanjang hari menikmati hangatnya matahari. Tanah subur yang menjadi sawah-sawah bertingkat, sumber makanan manusia. Telaga berwarna di tengah taman bunga, tempat mandi para bidadari. Lubang-lubang besar dengan air mendidih yang selalu bergolak. Juga satu sumur dengan air hijaunya yang tak pernah surut. Di sumur itu para dewa bermain dadu, menunggu manusia datang mencari peruntungan. Mereka akan berlomba melemparkan batu ke dalam sumur. Huup! Yang batunya jatuh di tengah sumur akan mendapatkan kemenangan.
Dulu sekali, ketika manusia mulai datang mencari dewa, mereka membangun tempat-tempat itu. Menumpuk batu-batu hingga tinggi, lalu menyimpan patung dewa di dalamnya. Di situ mereka menyembah, memuja, menyajikan berbagai sesembahan. Makanan. Juga emas permata.Lalu manusia-manusia baru datang, membuat bangunan pemujaan yang baru. Bentuknya berbeda, lebih besar, dan lebih berwarna. Ada banyak jumlahnya, berdiri di seluruh daratan. Dari sana, lima kali sehari aku mendengar suara-suara pemujaan. Mereka sedang bertemu dengan dewa mereka.
Di sinilah tempat tinggalnya berbagai dewa. Pesonanya menjerat lalu mengikat siapa saja yang pernah singgah. Sebuah keindahan yang bercampur dengan misteri dan keimanan hati. Dieng.
Monday, September 07, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment