Ini semua berawal dari selembar potret. Bukan potret di artikel perjalanan atau brosur wisata melainkan potret Pak Beye dan Bu Ani :P. Well, saya mengaku norak. Tapi memang gara-gara potret dua orang itulah saya ingin datang ke perkebunan kopi di Losari, desa di perbatasan Semarang-Magelang.
Di potret yang diambil tahun 2006 itu, Pak Beye yang berbaju putih tampak serius menulis. Badannya membungkuk ke meja. Di sampingnya, Bu Ani menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Mereka berdua duduk di teras atau bisa jadi sebuah balkon. Di depan mereka terhampar perkebunan kopi dengan kabut yang tebal. Potret itu benar-benar menggambarkan kesempurnaan pesona perkebunan kopi. Mereka sedang berada di Losari Coffee Plantation Resort and Spa, sebuah resort di tengah perkebunan kopi Desa Losari.
Sejak itu saya mulai mencari tahu tentang tempat itu. Saya membaca berbagai versi penulisan daya tarik resort itu. Saya ikut merasakan dinginnya, melihat kabut tebal menyelimuti sekeliling resort, dan mencium aroma kopi yang baru digiling atau aroma seduhan kopi. Berbagai penggambaran suasana tempo doeloe, bangunan loji peninggalan zaman Belanda dan mebel yang antik, membentuk imaginasi sempurna tentang seorang noni Belanda yang sedang merajut dan menikmati secangkir kopi di tengah-tengah pohon-pohon kopi berselimut kabut.
Malam itu saya berdiri di depan pagar-pagar putih itu. Sejak awal saya tahu resort ini bukan penginapan seharga 500 ribu semalam. Tarifnya 250 USD semalam, dengan sedikit potongan untuk orang lokal. Dan ketika saya berada begitu dekat, keinginan itu menjadi luntur. Apalagi di depan saya terdapat jalanan aspal menanjak yang kanan kirinya ditanami dengan kopi. Kami tinggalkan resort - yang kata satpam - milik Sandiaga Uno itu, menuju Losari yang sesungguhnya.
Tiba di perkampungan penduduk, kami disambut dengan sebuah gereja dan masjid yang berdiri berhadapan. Di sebelah gereja ada kantor kepala desa, lalu di sebelahnya lagi sekolah dasar. Perempuan-perempuan berkerudung mukena putih dan laki-laki bersarung keluar dari masjid. Mereka baru selesai sholat tarawih.Kami berkeliling desa, melihat-lihat suasana sambil mencari kemungkinan untuk menumpang di salah satu rumah penduduk. Resort mewah itu adalah satu-satunya penginapan di desa ini. Saya menghampiri seorang perempuan yang berdiri di depan rumah. Tanpa membuang waktu, dia langsung menawari kami menginap di rumahnya. Suaminya, Sukidi, seorang ketua RT.
Lukisan Perjamuan Terakhir terpajang di ruang tamu Sukidi. Di ruang keluarga, Patung Yesus dan Bunda Maria berjajar di sudut ruangan. Timbul sedikit keraguan di benak kami. Bukan masalah yang besar, hanya memikirkan bagaimana kami makan sahur kalau menginap di rumah ini. Pelan-pelan saya katakan itu ke Sukidi. Ternyata dia malah menepis keraguan kami.
Jam 3 pagi, istri Sukidi dan anak perempuannya sudah menyiapkan berbagai sajian di meja makan. Tak lupa secangkir kopi khas Desa Losari. Kata Sukidi rasanya memang masih kalah enak dengan kopi yang ada di resort. Entah apa yang membuatnya berbeda. Orang-orang desa tak pernah tahu apa rahasianya. Tapi di lidah saya dan Abdul, kopi itu begitu nyamleng tanpa rasa pahit yang berlebihan.
Usai makan sahur, sayamelirik termometer yang terpasang di dinding rumah Sukidi. Tanda merahnya menunjukkan angka 22 derajat celcius. Suara berbagai burung terdengar. Di luar rumah, rumput-rumput basah, angin bertiup lembut, dan kabut tebal turun sampai ke tanah. Ah, inilah Losari yang sesungguhnya.
Sunday, September 06, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment