Saat itu kurang dari empat puluh delapan jam Indonesia berumur 64 tahun. Saya dan Abdul berdiri di sebuah dermaga, tempat kapal-kapal besar bersandar. Kuli-kuli sibuk mengangkut barang, ada kardus-kardus air mineral hingga kardus-kardus mie instant. Mereka berjalan di atas kayu yang menghubungkan daratan dengan dek kapal. Dari tempat kami berdiri, tubuh kuli-kuli itu membentuk silhuet menutup matahari yang berada di seberang sana.
Dari tempat itu, kami akan membangun jembatan panjang. Sebuah jembatan yang melintasi waktu, menghubungkan satu titik masa lalu di satu ujungnya dengan masa kini di ujung yang lainnya.
Dimulai dari empat ratus tahun lalu, saat Jan Pieterszoon Coen dengan kapalnya tiba di Sunda Kelapa, pelabuhan yang menjadi titik awal jembatan. Didorong oleh urusan lidah, Coen dan anak buahnya datang dari negeri nun jauh disana. Mereka mencari apa yang diinginkan, dibawa lagi ke negerinya untuk dijual. Hingga lahirlah sebuah perusahaan dagang, Vereenigde Oostindische Compagnie.
Kami berdiri tegak di depan tembok tinggi itu. Kepala kami mendongak menatap papan nama perusahaan itu. Sebuah simbol kejayaan, simbol keserakahan, dari suatu masa yang telah lewat.
Lalu kami beranjak, mengikuti arah jembatan yang kami bangun. Kami berhenti di rangka-rangka besi yang menghubungkan dua tepian sungai. Di sini dulu, roda-roda mengukir jejak. Rangka-rangka besi menjadi saksi sebuah revolusi. Dari gerobak, kereta kuda, hingga sepeda. Semua atas nama kemudahan dan demi kejayaan.
Di sebuah kota, kami mengais sisa penaklukan. Gedung pusat kekuasaan, gambar-gambar besar orang-orang yang tak pernah kami kenal. Ranjang-ranjang kayu dan cermin-cermin besar menunjukkan sebuah kenyamanan, bungker dalam tanah menjadi saksi sebuah kekejaman.
Kami terus berjalan, mengikuti aliran sungai, hingga tiba di sebuah pusat keramaian. Angka tahunnya tak lagi muda. Ada tulisan yang tidak menggunakan abjad. Tempat ini juga dibangun oleh orang-orang pendatang. Bukan orang-orang dari negeri Coen, tapi orang-orang dari timur. Di tempat ini mencari makan sekaligus menjadikannya simbol peradaban.
Jembatan yang kami bangun telah selesai separuh. Kami telah sampai di sebuah masa di mana segala sesuatu berjalan dengan sangat cepat. Masa yang baru. Tapi seperti menjadi sebuah dejavu. Ketika di banyak tempat kami melihat rumah Tuhan dibangun dengan emas dan pualam. Bangunan kokoh yang seringkali kosong. Di sekelilingnya orang-orang meminta-minta.
Di ujung jembatan, di sebuah titik terkini, kami tersesat di antara gemerlap lampu dan bangunan tinggi. Abad telah berganti. Di sinilah kami kini. Sebuah kota yang penuh keglamoran dalam gegap gempita abad ke 21.
15-16 Agustus 2009
Monday, August 17, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment