Saturday, August 22, 2009
Tirakat
Hari pertama puasa. Bukan hari yang istimewa karena saya telah dua puluh tahun melakukannya. Kalaupun ada yang berbeda - meniru apa yang biasa ditampilkan infotainment - ini puasa pertama saya bersama suami. Bedanya ya hanya terletak pada urusan masak-memasak. Hal-hal lain tetap saja tidak berbeda dengan apa yang saya lakukan tahun-tahun sebelumnya.
Tadi malam saya tidur jam dua belas dan sudah terbangun jam setengah dua. Padahal rencanaya saya baru akan bangun jam setengah empat untuk memasak sebentar lalu makan sahur. Hari ini imsak jatuh jam setengah lima. Tapi ternyata suara teriakan-teriakan orang sudah terdengar sejak jam setengah dua. Suaranya dekat, karena mereka berkeliling di depan rumah di Kalibata. Teriakan "Sahur...Sahur" sahut menyahut tak karuan. Diselingi dengan suara bambu dan tiang listrik yang dipukul-pukul.
Tiga tahun lalu, saat saya pertama kali tinggal di Jakarta, saya terkejut dengan cara penanda sahur yang menurut saya berlebihan. Di Rawamangun, masjid kompleks perumahan sudah memberikan penanda sejak jam dua malam. Melalui pengeras suara masjid, suara laki-laki terdengar ke semua rumah di kompleks, mengingatkan kalau sekarang sudah jam dua dan sebentar lagi waktu sahur tiba.
Saya membandingkan dengan penanda sahur di desa saya. Orang di masjid mengingatkan sahur saat sudah jam tiga. Anak-anak yang berkeliling juga baru berkeliling jam setengah tiga. Semuanya dengan suara yang lembut, enak didengar. Padahal penduduk desa saya mayoritas adalah muslim. Teriakan sahur tidak akan pernah dianggap sebagai gangguan oleh orang-orang. Tapi justru di Jakarta, kota dimana orang-orang dengan berbagai kepercayaan bercampur seperti salad, penanda sahur dilakukan dengan begitu agresif dan memakan banyak waktu. Saya berpikir, kalau saya saja yang melaksanakan puasa terganggu, bagaimana dengan orang-orang yang tidak melaksanakannya?
Bagi saya, puasa adalah sebuah kontemplasi. Perenungan dan juga meditasi. Ini adalah sebuah kegiatan pribadi, dimana saya sedang berdialog dengan diri saya sendiri sambil meyakini ada kekuatan Ilahi yang sedang membimbing kami. Semuanya dilakukan diam-diam, lirih berbisik-bisik, bahkan seringkali sembunyi-sembunyi.
Besar dalam keluarga Jawa yang masih memegang tradisi, puasa telah menjadi bagian kental dalam kehidupan keluarga kami. Puasa adalah laku spiritualitas untuk mencapai kekayaan batin, juga tirakat sebagai bagian dari perjuangan mencapai apa yang diinginkan. Puasa bagi kami bukan hanya sebulan saat Ramadan, tapi sepanjang waktu.
Ketika ajaran agama memberikan pengaruh besar dalam kehidupan kami, puasa di luar Ramadan salah satunya menjelma dalam puasa yang dilakukan di hari Senin dan Kamis. Semuanya dilakukan diam-diam, kadang sembunyi-sembunyi. Sungguh, saya berulang kali menolak ajakan makan di hari Senin dan Kamis dengan berkata, "Saya sudah makan." Ada rasa malu dan kikuk kalau saya harus menjawab, "Saya sedang puasa," karena kalimat itu akan sama artinya dengan, "Saya sedang tirakat."
Sebagai laku tirakat, dalam puasa saya dengan sadar mengendalikan segala diri dan keinginan. Saya dengan sadar, mengambil posisi meditasi dan berkontemplasi di saat sekitar saya begitu berisik dan penuh godaan. Puasa justru menguatkan saya untuk menantang semuanya. Bukan dengan manja meminta orang di sekitar saya untuk tidak makan, tidak berpesta, demi menghormati puasa saya.
Puasa, sebagaimana ibadah-ibadah lain yang diajarkan dalam kitab suci, merupakan cara yang diajarkan Tuhan agar manusia bisa meningkatkan kualitasnya. Baik kualitas dalam mengolah rasa, mengolah pemikiran, dan mengasah religiusitas. Saya puasa dan sholat, agar saya senantiasa ingat saya hanya bagian kecil saja dari sebuah kekuatan yang maha dahsyat. Puasa dan sholat, membantu saya untuk bisa lebih menahan emosi, berkonsentrasi, memandang setiap hal dari sisi yang berbeda. Puasa dan sholat menjadi cara saya untuk mengendalikan diri, mempertimbangkan setiap apa yang saya maui.
Konsep puasa Ramadan sendiri menurut kitab suci adalah sebuah ibadah untuk Tuhan. Tapi alih-alih bisa ikhlas melakukanya untuk Tuhan, kadang saya malah ikut terjebak dalam hitung-hitungan pahala dan dosa. Berpuasa sembari berhitung banyaknya pahala yang telah saya kumpulkan.
Padahal, saya tak terlalu percaya pada rumusan pahala dan dosa. Karena jika pahala atau dosa bisa dihitung sebagaimana saya menghitung simpanan uang di bank, tentu akan sangat gampang untuk melakukan perhitungan dengan Tuhan. Saya akan bertanya, berapa pahala minimal agar saya bisa masuk sorga. Kalau Tuhan berkata seribu, saya tinggal mengumpulkan angka itu sepanjang hidup saya, lalu sim salabim saya akan masuk surga.
Sungguh, saya tidak sedang berhitung soal pahala dan dosa. Saya hanya sedang melakukanya untuk diri saya. Sembari menunggu rasa ikhlas untuk Tuhan itu datang dengan sendirinya. Entah kapan.
Labels:
Culture,
Salad Bowl
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment