“Aku bc statusmu di fb. Tidak tahu hrs berkomentar apa, Ky. Co pilot heli yg jatuh tadi siang adalah teman baikku saat SMP di Solo.”
Pesan itu baru saja masuk ke handphone saya. Datar, tapi saya rasakan ada nada menggugat. Pemberitahuan, tapi saya rasakan sebagai ungkapan kekecewaan. Saya merasa SMS itu ingin berkata, “Kamu tidak peduli” atau “Kamu tidak tahu rasanya kehilangan”. Pengaruhnya dahsyat, saya merasa kosong, terharu dan berkaca-kaca.
Lalu saya mengeja kembali status yang saya tuliskan di facebook tadi sore, beberapa saat setelah media menurunkan berita jatuhnya helikopter di
“Bukan soal anggaran yang harus dinaikkan, tapi bagaimana anggarannya digunakan dgn tepat buat pemeliharaan alat. Bukan untuk yang lainnya, apalagi dikorupsi.”
Saya memang tidak mendukung kenaikan anggaran pertahanan.Dalam kondisi APBN yang serba terbatas, saya melihat ada yang perlu diprioritaskan, dan itu bukan pertahanan. Menurut saya, prioritas utama adalah pendidikan dan kesehatan. Soal pertahanan, bolehlah menjadi prioritas ketiga. Namanya juga sedang terbatas ya harus ada yang dipilih, meskipun sebenarnya berat.
Anggaran pertahanan tahun 2009 diturunkan menjadi Rp35 triliun dari sebelumnya Rp36,39 triliun. Padahal konon, harusnya anggaran pertahanan itu sebesar Rp127 triliun. Dengan penurunan anggaran seperti ini, TNI harus menghemat pengeluarannya. Tidak akan ada pembelian alat-alat baru, hanya pemeliharaan alat-alat yang sudah ada. Mengganti bagian yang harus diganti, memperbarui komponen yang dipandang tidak layak. Dan itu semua baru bisa dilakukan dengan benar jika anggaran yang ada digunakandengan tepat, tak ada sunat
Lalu seorang teman bertanya, bagaimana jika memang alat-alatnya sudah usang dan tidak layak pakai semua? Saya jawab, ya sudahlah. Tidak usah latihan-latihan terbang dulu. Toh apa sih yang mau dicapai? Perang? Saya rasa negara kita masih akan tetap memilih penyelesaian melalui diplomasi dalam menyelesaikan permasalahan.
Saya tidak percaya pada mazhab orang-orang realis tentang keseimbangan kekuatan (balance of power) untuk mencegah perang. Bolehlah kepemilikan nuklir menjadi bukti mazhab ini. Dua negara yang sama-sama punya nuklir tidak akan pernah berperang. Tapi saya justru mempertanyakan untuk apa menghabiskan duit membuat senjata nuklir jika ternyata untuk pajangan saja. Sementara pada saat bersamaan masih ada kelaparan, wabah penyakit, dan orang-orang buta huruf.
Waktu berjalan dan kebutuhan selalu berubah. Pada era sebelum kemerdekaan, Bangsa
Urusan Ambalat, misalnya, harusnya bisa diselesaikan dengan jalur diplomasi asalkan diplomat-diplomatnya berkualitas. Dan memang penyelesaian sengketa lewat diplomasi butuh waktu lama, tapi kita harus menerima. Yang lebih urgent dan mendesak adalah jalan penyelesaian bagi seorang Siti Hajar yang dihajar habis-habisan di
Jatuhnya helikopter tadi sore, yang merupakan kecelakaan ketiga pesawat TNI selama sebulan ini, semakin menggugat pertanyaan : sampai kapan prajurit-prajurit itu mati konyol? SMS yang baru saya terima, juga saya maknai sebagai gugatan. Gugatan atas sebuah kematian yang sia-sia, pengorbanan nyawa yang seharusnya tidak perlu.
Saya sendiri lebih memilih tidak ada tentara dan senjata. Meskipun Anda semua akan berkata saya naïf.
0 comments:
Post a Comment