Malam itu, saat bianglala pasar malam mulai berputar, sebuah ingatan panjang kembali berjalan. Dari satu tikungan waktu masa kini, saya kembali ke sebuah masa dimana pasar malam tidak hanya menjadi obyek kamera dan secuil pengobat rindu. Sebuah masa dimana ia menjelma sebagai harapan, perayaan, sekaligus simbol derita.
Kami menemukan pasar malam itu tak sengaja dalam perjalanan dari satu bukit kapur di pinggiran
Bertahun-tahun telah berlalu sejak terakhir kali saya naik bianglala di pasar malam. Terakhir saat saya SD, dalam sebuah pasar malam yang menjadi penanda dimulainya musim penggilingan tebu, di Magetan
Pasar malam buka giling menjadi pesta yang selalu ditunggu semua orang. Kami berbondong-bondong kesana, larut dalam suka cita. Ya, sejatinya dimulainya masa giling tak sekedar simbol keuntungan pabrik gula tapi juga simbol uang bagi petani tebu dan buruh-buruh yang ikut menebang.
Pembukaan pasar malam saat itu selalu diawali dengan arak-arakan tebu temanten. Dua batang tebu dihias dengan janur lalu diangkut dengan tandu yang juga sudah dihias. Sepasang tebu temanten ini akan diarak sampai ke tempat penggilingan, menjadi simbol mulai bekerjanya alat giling. Prosesi itu akan dilanjutkan dengan pasar malam yang diselenggarakan hingga sebulan lamanya.
Tebu saat itu menjadi satu tanaman yang diidolakan petani-petani di desa saya. Dengan menanam tebu, orang-orang tidak perlu repot-repot mencari pembeli. Pabrik gula akan siap menampung berapapun banyaknya. Orang juga percaya tebu akan selalu dicari selama manusia masih memerlukan gula.
Saya ingat bagaimana saat panen tebu tiba, semua orang di desa saya menjadi sangat sibuk. Buruh-buruh berangkat sejak pagi dengan mengenakan sarung tangan tebal dan penutup muka. Pemilik tanah mengawasi orang-orang itu bekerja sambil menyiapkan makanan dan minuman. Anak-anak kecil ikut berebut batang tebu untuk dihisap airnya. Dikupas, dikeret menjadi ruas-ruas yang kecil, lalu dihisap di bawah matahari. Segala kesibukan berakhir saat pekerja mulai membakar sisa-sisa batang tebu. Api membesar dan asap hitam membumbung ke langit. Lalu lori yang mengangkut tebu mulai bergerak perlahan, menuju tempat penggilingan.
Pada masa itu, pabrik gula menjadi sebuah lambang kekuatan dan kejayaan. Ingatan masa kecil saya merekam bagaimana orang-orang membicarakan Pak A atau Pak B, pegawai pabrik gula yang memiliki kekayaan melimpah. Maka wajar saja kalau kemudian orang-orang berlomba-lomba nyogok agar anak-anaknya bisa diterima sebagai pegawai pabrik gula.
Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa memberi gambaran yang sangat hidup tentang pabrik gula zaman kolonial. Pimpinan pabrik gula adalah seorang Belanda yang memiliki kedudukan tinggi. Mereka seperti penguasa lokal yang mengalahkan kekuasaan bupati. Seseorang akan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hati direktur pabrik gula. Termasuk menjual anak gadisnya agar bisa diangkat sebagai pegawai pabrik gula.
Kekuatan dan kejayaan pabrik gula kini hanya menjadi bagian dari kenangan. Sejak awal 1990, keuntungan pabrik gula menurun Mereka mulai mengurangi pembelian tebu petani. Manajemen pabrik gula yang korup dan amburadul menjadi penyebab utama. Lalu bencana lain datang tahun 1998. Pemerintah mengizinkan gula dari luar negeri masuk tanpa hambatan. Harga gula menjadi murah, demikian juga tebu. Petani-petani di desa saya mulai putus asa. Mereka mengganti tebu dengan tanaman lain. Beberapa orang yang masih setia pada manisnya kenangan tetap bertahan.
Lori tebu pengangkut hasil panen tak pernah lagi datang. Relnya yang sekarang masih ada menjadi saksi sebuah kejayaan yang tergilas roda zaman. Pasar Malam masih diselenggarakan tiap masa buka giling tiba.
Pasar Malam Sawangan, 27 Juni 2009
0 comments:
Post a Comment