About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Wednesday, June 10, 2009

Atap 234


Ini sepenggal kisah tentang atap satu bangunan berlantai empat di JakartaRaya. Bagian yang seringkali terlupakan dan hanya dihampiri seperlunya saja. Bahkan seringkali orang mampir karena terpaksa. Terpaksa menunggu antrian sholat di mushola atau terpaksa menghindari orang karena ingin menerima telepon dari seseorang yang dirahasiakan.


Di atap itu, aku pernah menyaksikan salah satu senja JakartaRaya yang paling indah. Sepanjang hari angin semilir, makin kencang setelah matahari terbenam. Saat malam, kalau menghadap ke arah barat, lampu-lampu kota terlihat seperti kunang-kunang. Di tengah bulan, aku sering mendapati purnama tepat berada di atas ubun-ubunku. Sayang, aku tak pernah melihat bintang.


Sebagai wong ndeso yang baru hijrah ke metropolitan, aku seperti menemukan satu tempat pelarian. Tempat yang memberiku rasa damai dan rasa nyaman. Tempat untuk sejenak melepaskan diri dari kemacetan jalanan, keruwetan bahan berita, dan kebebalan otak pemal as seperti aku. Kalau sudah ada di atap..rasanya b-e-b-a-s.


Tak ada satu kegiatan khusus yang kulakukan di atap. Paling-paling ya, melamunkan hal-hal tak penting. Ya, maklumlah..saat itu nasibku sebagai wong ndeso sedang apes-apesnya. Sebatang kara di Jakarta, jauh sama pacar, meskipun ujung-ujungnya putus juga.


Bulan-bulan selanjutnya, setelah tidak lagi ndeso dan agak ng(k)ota (ciyeeehh), aku mulai berbagi kenyamanan atap dengan orang-orang sekitarku. Foto-foto, ngobrol-ngobrol, ketawa-ketiwi, yah..lebih banyak nggosipnya sih. Di atap itu juga, aku pernah mendapat kejutan ulang tahun paling mengharukan dan menyenangkan dari sah

abat-sahabatku, disaat calon suamiku sendiri melupakannya.

Dua bulan lalu, bersama Tya dan Nunik, tiba-tiba terbesit ide untuk membuat sesuatu di atas atap. Sesuatu untuk perpisahanku, kata Tya (siapa yang mau perpisahan?). Tya membanyangkan sebuah acara yang hangat, romantis, dihiasi temaram lilin, dihadiri sedikit orang. Aku sendiri malah membayangkan pesta besar dihadiri banyak orang.


Hari terus berjalan, tanpa menyinggung lagi ide gila di atas atap itu. Lagipula, agak naïf berkeinginan mengumpulkan teman-teman yang berjibaku di pabrik berita untuk berkumpul dalam sebuah acara yang sama sekali tidak penting.


Aku merencanakan hal yang lebih membumi, tidak lagi di atap tapi menginjak tanah. Bernyanyi di ruang karaoke. Memang masih naïf juga. Bagaimana mengajak banyak orang yang dikejar deadline untuk karaokean. Paling ujung-ujungnya hanya elu lagi-elu lagi yang bisa ikut.


Tapi tenyata tidak. Malam itu menjadi malam yang tak terlupakan, tak kalah menggembirakan dengan kejutan ulang tahun di atap.


Melihat Bang Pohan, Mas Koesworo, Pak Rihad, Pak Encung, Mas Iman, Pak Wahyudi bernyanyi, menjadi bagian dari kegilaan teman-teman semua, akupun bertanya dalam hati : Benarkah aku ingin berpisah? Siapkah aku untuk tidak lagi menjadi bagian dari mereka? Relakah aku kehilangan atapku? Akankah kudapatkan atapku yang nyaman di tempat lain?


Mungkin aku bisa menemukan atap lain, tapi tentu saja berbeda. Atap itu tetap akan menjadi yang terbaik. Menjadi saksi dari proses yang kujalani. Tempat aduan wong ndeso yang terdampar di ibukota. Sesuatu yang tak akan kutemui di tempat lain, di bangunan bercakar langit sekalipun.


Tapi toh, aku memang tetap harus undur diri. Bukan karena atapku tak lagi nyaman. Tapi semata-mata hanya karena waktu terus berjalan. Genap tiga tahun aku merasakan nyamannya atap itu, seperti ada genta berbunyi, mengingatkan aku untuk berdiri, kembali melangkah, melanjutkan perjalanan.


Tentu saja bukan perjalanan yang selalu indah. Belum pasti juga akan ada atap nyaman yang kutemukan. Tapi memang aku harus melangkah.


Aku hanya bisa berharap, sesekali aku masih bisa mampir ke atap itu. Masih bisa menjadi bagian dari orang-orang yang dinaunginya. Aku juga masih menyimpan impian pesta atapku. Di atap itu, bersama kalian semua. Sewaktu-waktu, sampai kapanpun, meski kita semua telah berada di jalan yang berlainan.


Kalibata, 26 Mei 2009 (first published on FB)

0 comments: