Ibu saya meneteskan air mata waktu saya membasuh kaki suami saya. Padahal saat ritual itu dilakukan, kami telah melewati detik-detik menegangkan dan mengharukan saat ijab kabul atau siraman.
Ritual basuh kaki justru hanya bagian upacara yang menjadi milik banyak orang, yang ditonton lebih seratus orang. Kami mirip pemain ketoprak yang sedang memainkan peran menyenangkan banyak orang. Tapi kenapa saat itu justru ibu saya menangis? Kenapa bukan saat saya sungkem setelah siraman - sebuah upacara pribadi antara saya dan orang tua saya?
Ibu saya tak pernah menjelaskan apa yang membuatnya meneteskan air mata saat itu. Ia tak pernah mengungkapkan kekuatan apa yang merobohkan benteng keharuannya. Tak pernah dijelaskan untuk alasan apa air matanya mengucur.
Namun saya telah mengartikan air matanya saat itu juga. Mungkin dia terharu, bisa jadi sedih, karena ritual itu secara kasat mata menggambarkan posisi saya di hari-hari ke depan nanti. Membasuh kaki bisa diartikan sebagai pengabdian, penyerahan diri, kesediaan untuk selalu melayani. Ritual itu memberi gambaran sebuah penaklukan laki-laki, sebuah ilustrasi bagaimana di hari-hari mendatang anak perempuannya akan takluk dalam kekuasaan seorang laki-laki.
Memang, upacara basuh kaki akan diakhiri sikap seorang laki-laki dengan penuh kasih sayang mengangkat tubuh istrinya. Itu menyiratkan bagaimana laki-laki tidak akan pernah menindas istrinya. Juga sebagai gambaran bahwa laki-laki akan selalu memperlakukan istrinya dengan penuh kasih sebagai balasan pengabdian yang diberikan istrinya.
Memang itu pesan yang ingin disampaikan dalam upacara ini. Saya sudah mengetahuinya jauh-jauh hari. Sempat berpikir untuk menghilangkannya dalam rangkaian prosesi pernikahan saya. Sempat juga membayangkan untuk memodifikasinya.
Seorang teman pernah memodifikasi dengan mengajak suami berjongkok bersama. Mereka menghilangkan adegan dimana laki-laki berdiri, sementara perempuan berjongkok. Mungkin dengan berjongkok bersama dianggap lebih menyiratkan kesetaraan, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Lalu mereka berdua akan bersama-sama membasuh kaki laki-laki yang sudah belepotan dengan telor. Tetap sih, kaki laki-laki saja yang dibasuh.
Imajinasi modifikasi yang sempat terlintas dalam pikiran saya adalah kami gantian membasuh kaki. Pertama saya akan membasuh kakinya, lalu selanjutnya dia membasuh kaki saya. Hehe..tentu saja ide itu hanya mengendap dalam pikiran. Saya melaksanakan upacara basuh kaki sesuai pakem yang dipelajari perias pengantin Jawa tradisional.
Saat menjalaninya, tak terbesit sedikitpun pikiran bahwa ini bentuk pengabdian saya pada suami. Juga tak ada keyakinan terhadap simbol-simbol Jawa tentang penyerahan diri istri untuk melayani suami. Saya hanya melakukannya karena itu bagian dari prosesi pernikahan Jawa. Meski tak sepaham dengan makna upacara itu, saya juga tidak merasa berat hati, menyesal, atau berdosa telah melakukannya.
Toh basuh kaki hanya sebuah adegan. Sebuah bagian dalam prosesi yang lebih bermakna bagi banyak orang, bagi keluarga besar, bagi orang tua, dibanding untuk kita sendiri. Sebagai simbol, adegan itu hanya akan menjadi kenangan, dicetak dalam kertas foto yang dipajang di tembok kamar, yang akan dikenang setahun, sepuluh tahun, atau lima puluh tahun lagi.
Pada kenyataanya, saya tak pernah harus membasuh kaki suami saya. Tak harus sama-sama berjongkok jika memang saya ingin berdiri. Tak ada bentuk pengabdian dan pelayanan.
Barangkali, justru ada perempuan yang menolak melakukan upacara itu dengan segala alasan kesetaraan, kini malah berkutat dengan mitos-mitos pengabdian. Merelakan mimpi pribadinya, melupakan bahwa setiap kita punya satu ruang pribadi yang tidak bisa dibagi dengan siapapun.
Toh, pernikahan hanya proses. Menikah hanya status dalam KTP. Suami hanya sebutan lain untuk seorang sahabat, orang yang menemani kita berproses.
Toh, kawin hanya sebuah aktivitas penyatuan fisik. Bukan peleburan jiwa, pikiran, dan cita-cita.
Selamat Hari Kartini.
Thursday, April 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment