Satu siang yang terik dengan debu-debu kering berterbangan yang nyaris terhirup dalam tiap tarikan napas. Beratapkan terpal di belakang gedung tempat mengadili para koruptor, kami- berlima -berbincang tentang makanan sambil menikmati gado-gado, tong seng, dan ayam bakar. Bukan soal rasa atau bumbu dibalik masakan
karena kami bukan tengah berwisata kuliner.
Kami membicarakan tempat-tempat makan yang tak lagi kami datangi justru bukan karena rasanya. Mungkin karena pantangan diet, kepercayaan, atau bahkan karena idealisme tertentu.
Restoran cepat saji misalnya, kini telah banyak dicoret dari daftar alternative tempat makan.
Ada yang melakukannya karena diet, mulai dari diet untuk menurunkan berat badan hingga diet pola hidup sehat. Makanan cepat saji selalu identik dengan daging – yang sudah dimasak beberapa saat sebelum waktu makan. Seluruh rekomendasi ahli gizi akan selalu menyarankan setiap orang menghindarinya dengan menyebutkan berbagai kemungkinan akibat mulai kolesterol hingga kanker.
Apalagi saat ini tengah berkembang trend pola makan vegetarian alias menghindari daging dan segala sesuatu yang berbau daging seperti telur dan susu. Vegetarian pun dilakukan dengan berbagai alasan yang tak melulu soal kesehatan. Lebih jauh lagi, vegetarian dipercaya sebagai bagian laku spiritual dan ekspresi rasa cinta terhadap sesama makhluk hidup.
Saya sendiri belum mencoret fast food dari bagian kehidupan saya. Selain karena saya masih makan daging hingga saat ini, masih cukup sulit bagi saya untuk 100% menghindari fast food di tengah kehidupan Jakarta. Restoran jenis ini tersebar di setiap sudut kota – mulai dari ayam goreng, pizza, sea food, hingga masakan Jepang.
Kalaupun saya selalu menempatkan fast food pada prioritas terakhir, semata-mata karena saya lebih menyukai masakan tradisional dalam menu sayur asem dan sambel terasi.
Saya lebih memilih mencoret nama satu rumah makan waralaba milik pengusaha lokal, Puspo Wardoyo : Ayam Bakar Wong Solo. Sebenarnya, saya begitu menyukai ayam bakar dari restoran ini, lengkap dengan sayur asem dan sambel terasinya.
Pilihan saya untuk tidak lagi ke restoran tersebut atau sekedar makan produk Wong Solo semata-mata karena kehidupan poligami yang dilakukan pemiliknya. Ayam Bakar Wong Solo juga menjadi bagian dari praktik poligami tersebut – dimana setiap istrinya di berbagai kota Indonesia dipercaya untuk mengelola satu rumah makan.
Berlebihan ? Mungkin, tapi itu sudah pilihan saya.
Mendebatkan poligami berdasarkan tafsir kitab suci tidak akan pernah selesai sampai kapanpun. Pilihannya adalah kita memilih yang mana. Saya sendiri memilih untuk tidak sepakat dengan poligami. Tidak hanya dengan mengecam laki-laki yang berpoligami tapi juga sadar sebagai posisi perempuan untuk menolak dipoligami.
Saya teringat pada awal tahun 2000, ketika saya berjumpa pertama kali dengan beberapa orang yang menolak menggunakan produk satu perusahaan multinasional, dengan alasan yang cukup idealis dan menurut saya saat itu tidak proporsional : karena perusahaan itu berhubungan dengan Zionis. Konon, setiap tahunnya, laba perusahaan disumbangkan bagi kegiatan mereka.
Parahnya, perusahaan tersebut menjadi produsen dari semua produk kehidupan sehari-hari. Mulai dari sabun hingga kecap. Sungguh pilihan yang sangat berat.
Beberapa tahun kemudian, saya melihat gerakan moral seperti ini dengan lebih proporsional. Tentu akan lebih menguntungkan bagi masyarakat Indonesia sendiri untuk menggunakan produk yang dihasilkan perusahaan lokal daripada perusahaan asing. Mulai dari keuntungan financial bagi masyarakat lokal sampai ke kekuatan politik.
Saya sendiri, hingga sekarang masih belum bisa meninggalkan produk dari MNC tersebut. Bukan tak sepakat dengan tujuan yang ingin dicapai, tapi lebih karena faktor personal. Dan saya rasa itu juga bagian dari pilihan saya.
Terlepas dari apapun pilihannya, seperti tidak makan Ayam Bakar Wong Solo bagi saya atau tidak memakai produk dari perusahaan Zionis bagi beberapa teman, merupakan gerakan moral yang dimulai dari diri sendiri.
Sesuatu yang nyata tanpa harus menunggu kesempatan berdialog di Gedung DPR atau menggalang kekuatan untuk melakukan demonstrasi besar-besaran.
Sebagaimana pilihan untuk sebisa mungkin menolak kantong plastik saat berbelanja, tanpa harus menunggu Konferensi Perubahan Iklim digelar lagi beberapa tahun mendatang.
6 comments:
ada 'fenomena' terbaru yang saya temukan terkait Poligami ini. seorang teman perempuan berkata bahwa dia setuju dipoligami, asal bukan yang pertama (alias menjadi terakhir).
hmm,fenomena perempuan zaman sekarang di dalam penatnya hidup.. :p
ayam opo sik paling sadis? ayam mbakar(i) wong solo. hehehe...
ayam bakar wong solo di Bintaro, deket rumah gw udah ngga laku lagi...nyokap gw juga sama kayak elo ki...dia ngga mau makan wong solo gara2 poligami, soalnya nyokap gw kenal ama istri ke-3 dan Ke-4 si Puspowardojo itu...
kalo gw siy...asal enak yah dimakan aja...bukan babi ini hahaha...
apapun polemiknya.. pro atau kontra silahkan saja wahai manusia... tapi kenyataan secara yang ada... Allah akan mencabut rezeki dari orang yg kelakuannya tak disukai... >>> maybe Puspo Wardoyo === A'ak Gym === siapa lagi mau menyusul...?
Orang sering tidak bisa melihat benang merahnya, apa hubungannya memboikot restoran Wong Solo sama poligami. Wong mau makan aja kok pake urusan mikirin poligami segala. Justru sebaliknya, gerakan2 moral semacam ini bisa menjadi social pressure yg ampuh. Aku juga kok Ky. Anti makan Ayam Bakar Wong Solo. Maaf ya Pak Puspowardoyo:)
setuju, mbakyu.
saya juga antiPoligami dan gak terlalu suka dengan sikap poligami pemilik restoran Wong Solo.
kalau ragu, buka catatan saya tentang poligami http://blontankpoer.blogsome.com/2007/01/01/poligami-yes-tapi/
tapi kalau soal makanan, buka saja di http://solo.dagdigdug.com/
hehehe... maaf, nebeng aja.
salam kenal
Post a Comment