Wednesday, December 26, 2007
Perhentian Waktu
Saya sedang berusaha menghentikan waktu.
Konon, di tempat yang lebih tinggi waktu berjalan lebih lambat. Kecilnya gaya tarik bumi membuat waktu tidak berjalan secepat di daerah yang lebih rendah. Itulah yang membuat orang ingin membangun rumah di ketinggian atau setidaknya membangun rumah bertingkat. Mereka ingin waktu berjalan perlahan, sehingga mereka akan menikmati masa muda lebih lama.
Di lereng Gunung Lawu, saya berhasil memperlambat waktu, meski tidak bisa menghentikannya. Jeda antara terbitnya matahari hingga ia membenamkan diri menjadi lebih panjang. Setiap orang bisa melakukan berbagai hal tanpa harus terburu-buru karena takut ditinggal oleh waktu. Mereka melakukan semua dengan santai dan tenang, karena kecepatan mereka sama atau bahkan lebih cepat dari kecepatan waktu.
Disana seseorang bisa melakukan kegiatan dua kali lipat lebih banyak dibanding di dataran rendah Jakarta ini. Mulai dari bangun tidur di pagi hari hingga kembali memejamkan mata pada malam hari. Bekerja untuk mencari uang, bercengkerama untuk menambah keakraban, duduk bermalas-malasan atau sekedar melamun. Semua bisa dilakukan dalam satu hari.
Orang-orang tampak lebih sehat dan awet muda. Pada saat orang yang tinggal di dataran rendah mulai kena stroke atau serangan jantung, pada usia yang sama orang-orang di tempat ini masih kuat mencangkul sawah atau memanggul beban puluhan kilogram melintasi jalan berbukit-bukit.
Hari ini saya membaca satu tulisan pendek Ayu Utami, yang sepertinya spesial untuk menyambut perayaan Natal. Penulis novel Saman ini bercerita bagiamana ziarah sebagai kegiatan spiritual selalu dilakukan dengan mendaki. Seperti mendaki Himalaya atau naik ke puncak Borobudur.
Saya ingat bagaimana saya terengah-engah mendaki tangga untuk berziarah di makam raja-raja Mataram di Imogiri. Begitu juga dengan makam para walisongo yang tersebar di berbagai daerah di Jawa.
Dalam kehidupan serba modern pun, tempat yang tinggi masih terus diciptakan sebagai tujuan ziarah. Orang-orang kaya berlomba membangun makam keluarga di daerah yang tinggi. Soeharto, misalnya, membangun makam untuk keluarganya di lereng Gunung Lawu sebelah barat. Disini saya melihat, tempat yang tinggi diyakini akan memberikan keabadian.
Keabadian di puncak ketinggian pula yang mendorong para pendaki gunung terus mengulang perjalananya. Waktu melambat seiring langkah-langkah mereka naik ke pijakan yang lebih tinggi. Hingga akhirnya berhenti dan menjadi abadi di tempat tertinggi.
Tapi apa yang terjadi ketika semuanya abadi? Ketika saat ini berarti selamanya? Ketika waktu tersisa dengan begitu longgarnya?
Hidup akan menjadi tidak punya tujuan. Semua akan bosan. Dan karena itu pendaki tak ada yang menetap di puncak ketinggian. Mereka akan turun kembali meski nanti akan naik dan kemudian turun lagi.
Lima hari menjalang kalender 2007 diganti, saya kembali disini. Tempat dimana waktu terus berlari dan saya susah payah mengejar.
Selamat Tahun Baru 2008.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
wah, lagi mudik.
di Gunung Lawu, waktu bisa melambat. aku baru tahu itu ky :)
Kembali ke Jakarta mengejar deadline ya Ky:).
Btw...kudoakan sukses untuk proposal penelitiannya. Kalo dapet pokoknya oleh-oleh:)
*trian, itu ilmu yang aku dapat setelah berguru di padepokan Einstein..huehehehe
*terima kasih atas doanya, mba thea...
waktu bisa diperlambat???
kalo menurutku, yang bisa diperlambat itu bukan waktu. krn waktu adalah sesuatu yang abstrak. yang sebenarnya (secara konkret) tidak ada. yang ada adalah manusia beserta segenap keseluruhan dirinya. termasuk pikiran2nya. karna itu, yang bisa diperlambat adalah arus kesadaran akan berbagai hal. termasuk waktu itu sendiri.
aku pernah berada di lereng sebuah gunung. waktu adzan maghrib, kondisi di tempat yang aku tempati masih terlihat terang. matahari-pun masih jelas terlihat di seberang barat. tapi menurutku, ini bukan karna waktu yang melambat, tapi krn posisiku yang ada di ketinggian saja.
Post a Comment