About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Wednesday, August 29, 2007

Cerita Alfred

ALFRED menghampiri saya pada detik-detik terakhir sebelum kami meninggalkan Desa Tanjung Paku, untuk kembali ke camp PT. Sari Bumi Kusuma dan meneruskan perjalanan 12 jam ke Pontianak.

Desa Tanjung Paku adalah salah satu desa binaan PT. SBK – perusahaan pemegang hak pengelolaan hutan (HPH) di Blok Seruyan dan Blok Delang, Kalimantan Tengah.

Desa ini dihuni 160 kepala keluarga yang semuanya beretnis Dayak – suku asli daerah ini.


Kehadiran Alfred awalnya tak begitu saya hiraukan. Saya manfaatkan sedikit waktu yang tersisa untuk memotret sebanyak-banyaknya. Segala informasi telah cukup didapat dari pertemuan dengan puluhan warga di balai pertemuan.

“Begitulah perusahaan. Kalau membantu hanya untuk formalitas,” ujar Alfred tiba-tiba.

Saya rasa dia cukup tahu bagaimana memancing perhatian seorang wartawan. Dan caranya berhasil.

“Maksudnya?” saya menggali lebih dalam.

Alfred melanjutkan ceritanya. Laki-laki yang baru menginjak usia 30 an ini seorang pegawai negeri sipil yang ditugaskan sebagai guru sekolah dasar di desa ini. Sudah 3,5 tahun dia mengajar di SD yang menjadi satu-satunya sekolah di Desa Tanjung Paku.

“Seluruh warga disini sudah dibungkam dengan uang. Semuanya tidak mau bicara,” ujarnya.

Alfred membeberkan banyak hal. Tentang perusahaan yang sering menebang di wilayah yang dilindungi, bantuan pendidikan yang tak layak, hingga sulitnya meminta bantuan pada perusahaan ketika ada warga yang sakit.

“Kalau ada yang sakit minta dibawa ke rumah sakit mobilnya tidak segera datang.”

Di wilayah ini transportasi merupakan masalah utama. Kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang semuanya milik PT SBK. Dibutuhkan minimal perjalanan 4 jam dengan kendaraan bermotor atau 3 jam jika disambung perjalanan lewat sungai untuk menuju pusat kota terdekat.

Cerita Alfred pun berganti.

Kali ini soal pendidikan dan anak-anak, dua hal yang erat dalam kesehariannya sebagai seorang guru. Kami berbincang tepat di halaman gedung sekolah dengan dikelilingi anak-anak yang telah mengantar saya berkeliling desa.

Setiap kata yang dikatakan Alfred seolah menjadi narasi dalam setiap hal yang saya lihat. Gedung sekolah yang reot, papan dan cat yang terlihat kumuh, dan anak-anak yang terlihat lusuh dan “terpana” dengan kehadiran orang asing.

Situasi yang sangat berbeda ketika beberapa jam sebelumnya saya mampir di SDS SBK – sekolah dasar yang didirikan perusahaan untuk anak-anak karyawannya. Di SDS SBK, segala fasilitas tersedia.

Gedung nya terlihat baru dan selalu terawat. Anak-anak terlihat ceria dan pandai besosialisasi. Tahun ini, siswa SD tersebut meraih nilai ujian tertinggi di tingkat kabupaten. Guru-guru di SD ini berstatus sebagai karyawan PT SBK yang ditugaskan sebagai guru pengajar.

“Anak-anak sini tidak boleh sekolah disana,” ujar Alfred.

Menurutnya, meski banyak warga Tanjung Paku yang bekerja di perusahaan, mereka hanya sebagai buruh atau pekerja kasar.

“Paling tidak harus anak mandor yang bisa sekolah di sana.”

Suara tepukan tangan mengagetkan saya. Antonius dari Radio Netherland tampak melambaikan tangan dari balai pertemuan yang jaraknya sekitar 300 meter dengan sekolah. Isyarat bahwa kami harus segera meneruskan perjalanan.

Kami menuju camp PT SBK. Sebuah bangunan mirip resort di tengah belantara. Dua jam kemudian kami telah berada dalam sebuah boat yang melintasi sungai Melawi selama 1,5 jam.

Hutan belantara yang penuh kayu, sungai yang mengandung emas, dan tambang yang penuh mineral. Kemana larinya semua kekayaan itu?


*) foto 1-4, anak-anak di Desa Tanjung Paku
foto 5-6, SD SBK- sekolah khusus anak karyawan
Semua gambar-kecuali gambar 6 & 7 -diambil oleh Okky
Kalimantan Barat - Kalimantan Tengah, 24 - 27 Agustus 2007






Monday, August 20, 2007

Merdeka!!

Kita senantiasa menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki.
Saat masih SD, kita selalu iri pada anak SMP yang memakai rok biru.
Saat akhirnya kita bisa memakai rok biru, kita mulai menghitung kapan rok kita abu-abu.
Begitu seterusnya...


Kita sering lupa betapa singkatnya hidup.
Lahir, tumbuh, sekolah, bekerja, menikah,
mengulang ritme yang sama
dengan yang dijalani orang tua kita.


Kita tak pernah menyangka,
Sesuatu yang kita perjuangkan dan ingingkan sepenuh hati
Seringkali bukan sesuatu yang berarti.


Untuk apa uang ketika kita berada di belantara?
Masih perlukah nama besar ketika semua orang hanya peduli diri sendiri?
Buat apa dendam tersimpan jika kita tak mampu mengangkat tubuh sendiri?


Hingga akhirnya aku sadar apa yang kubutuhkan,
Untuk hari ini, esok, dan nanti


Ketulusan... Memaafkan..Penerimaan...
Kehangatan...Kasih Sayang...Cinta...

Terima kasih Tuhan
Atas kesempatan kedua ini
Aku akan lebih menghargai hidup dan kehidupan
Anugerah terindah dari Mu yang sering kuabaikan



*)foto : Okky P Madasari
LP Narkotika Cipinang, Jakarta, 17 Agustus 2007
Ini foto2 narapidana yang bebas pas 17 an karena dapet remisi
Inilah salah satu sebab long weekend kali ini aku ga jalan kemana-mana : Kerja :)


Tuesday, August 14, 2007

Eurico Guteres


Membela Merah Putih dari Jeruji Cipinang

TANYAKAN pada Eurico Guteres sebesar apa rasa cintanya pada Indonesia. Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Pro-Integrasi ini akan bertutur panjang tentang pengorbanan pahlawan dan tokoh-tokoh bangsa yang berjuang merebut kemerdekaan dan membela tanah air.

Mulai dari peristiwa Bandung Lautan Api, Sepuluh November di Surabaya, hingga perjuangan pejuang Pro-Integrasi di Timor Timur. “Sudirman dan Soekarno tidak pernah berpikir apa nasib mereka besok. Bahkan rela mengorbankan nyawa demi bangsa dan negara. Seperti itulah yang saya rasakan,” ujar Eurico saat ditemui di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Selasa (14/8).

Jalan hidup telah membawa putra asli Timor ini hingga LP Cipinang. Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis 10 tahun penjara pada Eurico karena terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Eurico dinyatakan harus bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi di Timor-Timur pasca jajak pendapat tahun 1999.

Ingatan Eurico berkelana. Tentang masa kecilnya di sebuah desa di ujung Timor-Timur hingga kepindahannya ke Dili untuk bersekolah dan meraih cita-cita. “Dari sekolah itu saya tahu apa saja yang dilakukan Indonesia untuk Timor-Timur.”

Mulai dari pembangunan infrastruktur, sarana pendidikan, fasilitas kesehatan, hingga upaya pemberantasan kemiskinan. Perubahan besar telah terjadi di Timor-Timur selama 23 tahun menjadi bagian dari Indonesia. “Sekolah yang dulu cuma ada di Dili sekarang ada dimana-mana.”

Eurico mengakui Indonesia juga pernah melakukan kesalahan di Timor-Timur, termasuk dalam upaya mempertahankan proses integrasi tahun 1975. Meski demikian, kesalahan yang ada tidak bisa dijadikan alasan untuk membenci Indonesia. “Karena disamping melakukan kesalahan mereka juga telah membangun. Sangat tidak fair jika hanya dilihat dari kesalahannya saja,” ujarnya.

Prihatin

Hati Eurico seolah teriris mendengar sekelompok pemuda Maluku membawakan tarian perang Cakalele dengan mengusung bendera Republik Maluku Selatan (RMS). Atraksi liar tersebut digelar di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menghadiri peringatan ke-14 Hari Keluarga Nasional di Lapangan Merdeka, Ambon, akhir Juni lalu.

Hal serupa dirasakannya saat baru-baru ini bendera merah putih diturunkan di Nangroe Aceh Darussalam. “Kita masih bagian NKRI. Hal seperti itu jelas tidak boleh dilakukan,” tegasnya.

Laki-laki berusia 38 ini pun mengemukakan kegelisahan. Tentang semangat cinta tanah air dan bela negara yang makin menipis dari masa ke masa. Belum lagi kenyataan bahwa orang yang membel tanah air justru bisa dihukum oleh negara yang dibelanya. “Jangan-jangan karena apa yang terjadi pada saya orang enggan untuk membela bangsa dan negara.”

Kasus Eurico memang dipandang beberapa pihak sebagai sebuah ironi. Perjuangannya untuk tetap mempertahankan Timor-Timur sebagai bagian dari Indonesia justru mengantarkannya ke penjara. “Saya hanya melaksanakan amanat dalam Undang-Undang Dasar. Setiap warga negara wajib membela kedaulatan NKRI,” ujarnya.

Eurico tak juga mengerti kenapa pengadilan bisa menyatakan dirinya terbukti melakukan pelanggaran HAM berat. “Coba jelaskan pelanggaran HAM yang mana? Waktu itu situasinya perang. Karena saya mencintai Republik ini saya harus berjuang.”

Konsep HAM pun menjadi pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya hingga kini. HAM seharusnya berlaku universal bagi setiap orang, tanpa melihat apakah orang tersebut membela negara atau melawan negara. “Selama ini HAM seolah-olah hanya berlaku bagi orang yang melawan negara. Lalu bagaimana dengan orang yang mempertahankan negara?”

Bukan Golput

Satu tahun empat bulan sudah Eurico menjadi penghuni LP Cipinang. Hari-harinya kini diisi dengan membaca dan mengikuti setiap perkembangan di tanah air. Mulai dalam bidang politik, ekonomi, hingga kedatangan idolanya ke Indonesia, Zinadine Zidane.

Meski berada di balik teralis, Eurico tetap berkiprah dalam kehidupan bangsa dan negara dengan menjadi fungsionaris salah satu partai politik. Dia mengaku tak pernah merasa sakit hati dan tetap cinta Indonesia. “Sebagai warga negara kita tidak boleh merasa kecewa dengan keadaan lalu menjadi golput,” ujarnya.

Memperingati ulang tahun kemerdekaan yang ke 62 tahun, Eurico menitipkan dua harapannya. Pertama, agar 17 Agustus dijadikan momentum untuk menumbuhkan nasionalisme dan rasa cinta tanah air.

Harapan selanjutnya, agar pemimpin bangsa saat ini membangun tradisi baru yakni bersilahturahmi dengan mantan pemimpin sebelumnya. Karena bagaimanapun, jelas Eurico, pemimpin terdahulu telah berjasa pada bangsa dan negara. “Jika ini dilakukan, akan menjadi contoh generasi yang akan datang.”


*) foto by Okky P Madasari.
Koleksi lama pasca gempa, Klaten, Jawa Tengah.
Foto agak ngga nyambung,
soalnya 350 D ku disita di ruang pemeriksaan.
Lagi males, masang foto Eurico yang lama.
Ini aja dech, kan ada nuansa merah putihnya hehe
Next time musti bikin strategi buat ambil gambar di LP :)

Wednesday, August 08, 2007

Kota Tua

Apa yang istimewa dari sebuah jendela dan pintu tua? Selain debu yang tebal, kayu yang lapuk, dan cat yang memudar.

Apa pula yang menarik dari sebuah r
eruntuhan? Selain kenangan pada kegagahan di masa silam.

Hari itu kami mencari jawabannya. Dari pintu ke pintu, jendela ke jendela. Mengintip dari celah yang tersisa, melongok ke dalam bangunan. Hanya ruangan berantakan yang gelap penuh sarang laba-laba dan debu.

Mencoba membayangkan kota ini tiga abad lalu. Masing-masing rumah dihias dengan semarak. Setiap pemilik rumah akan membuka pintu dan jendela dengan lebar setiap paginya. Membiarkan orang yang lewat melirik sejenak ke dalamnya, seolah hendak memamerkan pajangan Cina yang dimiliki.

Dengan membuka lebar pintu dan jendela, pemilik rumah juga tak ingin sedetik pun melewatkan pemandangan kota yang menyenangkan. Noni-noni Belanda dengan gaun putih menjuntai berlalu lalang menarik perhatian. Pedagang-pedagang dari berbagai daerah di Jawa datang membawa banyak dagangan. Hiruk pikuk yang khas di sebuah pusat peradaban.

Kota ini kini telah tua. Rumah-rumah ditinggal oleh penghuninya. Tak ada lalu lalang saudagar dan noni-noni Belanda. Bangunan-bangunan satu persatu runtuh dimakan usia. Terpagut sepi dan senyap. Pintu dan jendela itu tak lagi pernah dibuka.

Anehnya lalu lalang orang makin banyak. Bukan noni-noni atau saudagar. Melainkan sejoli dalam balutan kebaya encim dan baju beskap. Mereka mengunjungi rumah-rumah tua itu. Mendekat ke pintu yang berwarna merah, beralih ke yang hijau.

Berlatar pintu dan jendela tua, mereka rancang hari depan. Membayangkan rumah baru dengan pintu dan jendela yang selalu terbuka. Tentu saja dengan cat yang terbaru yang warnanya mengikuti panduan buku arsitektur paling mutakhir.

Dari bangunan-bangunan tua itu, mereka coba cari tahu bagaimana membuat rumah yang kokoh dan tak mudah rapuh. Bertekad tak akan meninggalkannya hingga akhirnya terbengkalai dan runtuh.

Di rumah-rumah yang baru itulah mereka akan menciptakan kota baru. Dimana bukan saudagar dan noni-noni lagi yang berlalu lalang, melainkan bocah-bocah yang berlarian dan tertawa kegirangan.

Mungkin seperti itulah alasan calon pengantin mengambil gambar sebelum pernikahan di Kota Tua. Belajar dari yang lampau tuk meretas hari selanjutnya.

Mereka tahu apa istimewanya pintu dan jendela tua. Sebagaimana mereka paham apa yang indah dibalik sebuah reruntuhan.

Seperti itulah fungsi kenangan dan sejarah. Mempelajari penyebab dan akibat. Mengetahui kemungkinan yang bisa terjadi dan cara mempersiapkan diri. Sebuahpelajaran tuk memulai segalanya dengan lebih indah.

Sebagaimana yang kami lakukan saat ini. Mencoba membuat bangunan baru dari sisa rumah masing-masing yang telah runtuh di masa lalu.



foto atas : Nurdhian Santoso
foto bawah : Dedi Priambodo
Kota Tua, 4 Agustus 2007