Apa yang istimewa dari sebuah jendela dan pintu tua? Selain debu yang tebal, kayu yang lapuk, dan cat yang memudar.
Apa pula yang menarik dari sebuah reruntuhan? Selain kenangan pada kegagahan di masa silam.
Hari itu kami mencari jawabannya. Dari pintu ke pintu, jendela ke jendela. Mengintip dari celah yang tersisa, melongok ke dalam bangunan. Hanya ruangan berantakan yang gelap penuh sarang laba-laba dan debu.
Mencoba membayangkan kota ini tiga abad lalu. Masing-masing rumah dihias dengan semarak. Setiap pemilik rumah akan membuka pintu dan jendela dengan lebar setiap paginya. Membiarkan orang yang lewat melirik sejenak ke dalamnya, seolah hendak memamerkan pajangan Cina yang dimiliki.
Dengan membuka lebar pintu dan jendela, pemilik rumah juga tak ingin sedetik pun melewatkan pemandangan kota yang menyenangkan. Noni-noni Belanda dengan gaun putih menjuntai berlalu lalang menarik perhatian. Pedagang-pedagang dari berbagai daerah di Jawa datang membawa banyak dagangan. Hiruk pikuk yang khas di sebuah pusat peradaban.
Kota ini kini telah tua. Rumah-rumah ditinggal oleh penghuninya. Tak ada lalu lalang saudagar dan noni-noni Belanda. Bangunan-bangunan satu persatu runtuh dimakan usia. Terpagut sepi dan senyap. Pintu dan jendela itu tak lagi pernah dibuka.
Anehnya lalu lalang orang makin banyak. Bukan noni-noni atau saudagar. Melainkan sejoli dalam balutan kebaya encim dan baju beskap. Mereka mengunjungi rumah-rumah tua itu. Mendekat ke pintu yang berwarna merah, beralih ke yang hijau.
Berlatar pintu dan jendela tua, mereka rancang hari depan. Membayangkan rumah baru dengan pintu dan jendela yang selalu terbuka. Tentu saja dengan cat yang terbaru yang warnanya mengikuti panduan buku arsitektur paling mutakhir.
Dari bangunan-bangunan tua itu, mereka coba cari tahu bagaimana membuat rumah yang kokoh dan tak mudah rapuh. Bertekad tak akan meninggalkannya hingga akhirnya terbengkalai dan runtuh.
Di rumah-rumah yang baru itulah mereka akan menciptakan kota baru. Dimana bukan saudagar dan noni-noni lagi yang berlalu lalang, melainkan bocah-bocah yang berlarian dan tertawa kegirangan.
Mungkin seperti itulah alasan calon pengantin mengambil gambar sebelum pernikahan di Kota Tua. Belajar dari yang lampau tuk meretas hari selanjutnya.
Mereka tahu apa istimewanya pintu dan jendela tua. Sebagaimana mereka paham apa yang indah dibalik sebuah reruntuhan.
Seperti itulah fungsi kenangan dan sejarah. Mempelajari penyebab dan akibat. Mengetahui kemungkinan yang bisa terjadi dan cara mempersiapkan diri. Sebuahpelajaran tuk memulai segalanya dengan lebih indah.
Sebagaimana yang kami lakukan saat ini. Mencoba membuat bangunan baru dari sisa rumah masing-masing yang telah runtuh di masa lalu.
foto atas : Nurdhian Santoso
foto bawah : Dedi Priambodo
Kota Tua, 4 Agustus 2007
8 comments:
Aku sempat kaget melihat foto yang paling bawah. Kok tiba-tiba ada orang nyengir?
Itu pose andalan ya Mas? Hahahaha.
Huahahaha..Ikram,tahu aja kalo itu poseandalan...(ngitung udah berapa orang ya yang ngomong gitu:P)
Okky lagi hunting tempat buat poto pre-weddingnya ya? *hus* Besok kalo ada tur kota tua, kita ikut yuuu...
Ayah saya selalu cerita soal tempat ini, karena kemiripannya dengan jalan Braga bandung, tempat favorit saya seantero bandung raya. Dan mungkin lucu juga kalo foto pre-wedding di tempat kayak gini.
Ky, kamu seing banget deh perasaan difoto dengan latar tempat-tempat tua atau bangunan tua. Setting favorit ya? Hati-hati, nanti kulit mengkerut lebih dulu dari usianya.
cocoknya kamu jadi model buat sampingan bangunan tua aja ky. hehe....*kabur ah, sebelum ditimpuk.
oh ya, saya sepakat dengan ikram dkk. pose andalannya okky ya kayak gitu deh :-)
he he he akhirnya foto aku bisa ikutan nimbrung di blogmu
Post a Comment