MELIHAT Lestari mengingatkan pada almarhum nenek saya.
Ada beberapa kesamaan di antara keduanya.
Cara berpakaian, uban di rambut, kerut di wajah, dan badan yang sudah tidak tegak lagi.
“Sekarang sudah 75 tahun,” Lestari menyebut usianya.
Pada usia yang sama nenek saya telah meninggal. Sementara Lestari masih lancar berdiskusi dan mengikuti konferensi bertaraf internasional.
Tema diskusi-nya pun tak tanggung-tanggung. Soal politik, ketimpangan sosial, hingga masalah hak asasi manusia.
Hari itu misalnya, kami berjumpa dalam sebuah konferensi tentang Internasional Criminal Court di Jakarta.
Konferensi internasional ini dihadiri aktivis NGO dari berbagai negara juga beberapa duta besar yang ditempatkan di Indonesia. Lestari hadir sebagai salah satu korban pelanggaran HAM tahun 1965.
Pada 1968, Lestari ditangkap aparat di Malang, Jawa Timur (Jatim) karena dituduh terkait dengan aktivitas Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), salah satu organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejak itu, Lestari menjadi tahanan politik bersama ratusan orang lainnya yang dianggap melakukan kesalahan serupa.
“Anggap Ibu mati, kapan pulang jangan dipikir,” Lestari menirukan apa yang diucapkan kepada lima anaknya saat ditangkap aparat.
Saat itu Lestari sudah bisa membayangkan beban yang harus ditanggung seorang anak yang memiliki ibu seorang tapol.
Masa orde baru yang represif menciptakan banyak ketidakadilan bagi anak-anak Lestari.
Mereka tidak bisa menjadi pegawai negeri karena saat pelaksanaan litsus diketahui bahwa ibunya mantan tapol.
“Sampai sekarang anak-anak juga masih disebut anak tapol,” ujar Lestari.
Tak ingin membebani lima anaknya nya dengan cap tapol PKI yang masih melekat, Lestari kini memilih untuk tidak tinggal bersama anaknya.
Sekarang, perempuan tersebut tinggal bersama rekan-rekannya berusia lanjut di sebuah rumah mungil di Jalan Kramat V Nomor 1 C Jakarta Pusat.
Di tempat yang bernama Panti Jompo Yayasan Waluya Sejati Abadi tersebut terdapat delapan wanita dan tiga pria lanjut usia (lansia). Mereka ini semuanya mantan tahanan politik (tapol) kasus G-30-S/PKI.
Selain Lestari, ada penghuni panti lainnya yang juga hadir dalam konferensi tersebut. Namanya Sri Sulistiyawati, 70. Berbeda dengan Lestari yang aktif di Gerwani, Sri dulunya seorang wartawan.
Begitu pula dengan Soedjinah, 78. Perempuan ini salah seorang pengurus Gerwani Pusat. Mantan wartawati Harian Rakjat dan Bintang Timoer itu, memilih hidup sendiri setelah suaminya meninggal dunia saat bergerilya melawan pendudukan Jepang.Lestari dan Soedjinah merupakan sahabat lama saat menghadiri kongres Gerwani di Surabaya, pada 1951.
Setiap hari, mulai matahari terbit para penghuni panti ini mulai beraktivitas layaknya ibu rumah tangga.
Urusan masak-memasak dikerjakan Lestari, sedangkan mencuci pakaian dilakukan mereka secara bergantian, begitu pula dengan membersihkan rumah dikerjakan secara gotong-royong.
Aktivitas lainnya, secara rutin mereka membaca koran pagi serta nongkrong di muka televisi menyaksikan sinetron, tidak lupa program berita sebagai acara favorit.
Selebihnya para mantan aktivis politik ini melakukan diskusi dengan beragam tema, mulai sosial, budaya sampai politik. “Kadang-kadang ya ikut seminar kayak gini, kadang ikut demo juga,” ujar Lestari.
Untuk melakukan semua kegiatan di rumah tersebut, Yayasan Waluya Sejati Abadi harus merogoh kocek Rp2 juta per bulan. Selain yayasan, tidak sedikit pula donatur yang menggelontorkan rupiah ke rumah itu. “Alhamdulilah, kita tidak pernah merasa kekurangan,” ujar Sri.
Sri menolak jika tempat dimana mereka tinggal saat ini semata-mata dilihat sebagai panti jompo. “Bagi kami ini pengabdian, membantu mereka yang keluarganya masih kena stigma PKI,” ujar Sri.
*) Foto : Agung Kuncahya Banua, Bidakara, Jakarta, 17 Juli 2007
1 comments:
Wah, ki...ini tulisan yang menarik..ditulis buat Jurnas juga ga? kayanya bagus tuh kalo diperdalam dan ditulis buat selasar di Jurnas mingguan...
Post a Comment