Membela Merah Putih dari Jeruji CipinangTANYAKAN pada Eurico Guteres sebesar apa rasa cintanya pada
Indonesia. Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Pro-Integrasi ini akan bertutur panjang tentang pengorbanan pahlawan dan tokoh-tokoh bangsa yang berjuang merebut kemerdekaan dan membela tanah air.
Mulai dari
peristiwa
Bandung Lautan Api,
Sepuluh November di Surabaya, hingga perjuangan pejuang Pro-Integrasi di Timor Timur. “Sudirman dan Soekarno tidak pernah berpikir apa nasib mereka besok. Bahkan rela mengorbankan nyawa demi bangsa dan negara. Seperti itulah yang saya rasakan,” ujar Eurico saat ditemui di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Selasa (14/8).
Jalan hidup telah membawa putra asli
Timor ini hingga LP Cipinang. Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis 10 tahun penjara pada Eurico karena terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Eurico dinyatakan harus bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi di
Timor-Timur pasca jajak pendapat tahun 1999.
Ingatan Eurico berkelana. Tentang masa kecilnya di sebuah desa di ujung Timor-Timur hingga kepindahannya ke Dili untuk bersekolah dan meraih cita-cita. “Dari sekolah itu saya tahu apa saja yang dilakukan
Indonesia untuk Timor-Timur.”
Mulai dari pembangunan infrastruktur, sarana pendidikan, fasilitas kesehatan, hingga upaya pemberantasan kemiskinan. Perubahan besar telah terjadi di Timor-Timur selama 23 tahun menjadi bagian dari
Indonesia. “Sekolah yang dulu cuma ada di Dili sekara
ng ada dimana-mana.”
Eurico mengakui
Indonesia juga pernah melakukan kesalahan di
Timor-Timur, termasuk dalam upaya mempertahankan proses integrasi tahun 1975. Meski demikian, kesalahan yang ada tidak bisa dijadikan alasan untuk membenci
Indonesia. “Karena disamping melakukan kesalahan mereka juga telah membangun. Sangat tidak
fair jika hanya dilihat dari kesalahannya saja,” ujarnya.
Prihatin Hati Eurico seolah teriris mendengar sekelompok pemuda Maluku membawakan tarian perang Cakalele dengan mengusung bendera Republik Maluku Selatan (RMS). Atraksi liar tersebut digelar di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menghadiri peringatan ke-14 Hari Keluarga Nasional di Lapangan Merdeka, Ambon, akhir Juni lalu.
Hal serupa dirasakannya saat baru-baru ini bendera merah putih diturunkan di Nangroe Aceh Darussalam. “Kita masih bagian NKRI. Hal seperti itu jelas tidak boleh dilakukan,” tegasnya.
Laki-laki berusia 38 ini pun mengemukakan kegelisahan. Tentang semangat cinta tanah air dan bela negara yang makin menipis dari masa ke masa. Belum lagi kenyataan bahwa orang yang membel tanah air justru bisa dihukum oleh negara yang dibelanya. “Jangan-jangan karena apa yang terjadi pada saya orang enggan untuk membela bangsa dan negara.”
Kasus Eurico memang dipandang beberapa pihak sebagai sebuah ironi. Perjuangannya untuk tetap mempertahankan Timor-Timur sebagai bagian dari Indonesia justru mengantarkannya ke penjara. “Saya hanya melaksanakan amanat dalam Undang-Undang Dasar. Setiap warga negara wajib membela kedaulatan NKRI,” ujarnya.
Eurico tak juga mengerti kenapa pengadilan bisa menyatakan dirinya terbukti melakukan pelanggaran HAM berat. “Coba jelaskan pelanggaran HAM yang mana? Waktu itu situasinya perang. Karena saya mencintai Republik ini saya harus berjuang.”
Konsep HAM pun menjadi pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya hingga kini. HAM seharusnya berlaku universal bagi setiap orang, tanpa melihat apakah orang tersebut membela negara atau melawan negara. “Selama ini HAM seolah-olah hanya berlaku bagi orang yang melawan negara. Lalu bagaimana dengan orang yang mempertahankan negara?”
Bukan Golput
Satu tahun empat bulan sudah Eurico menjadi penghuni LP Cipinang. Hari-harinya kini diisi dengan membaca dan mengikuti setiap perkembangan di tanah air. Mulai dalam bidang politik, ekonomi, hingga kedatangan idolanya ke Indonesia, Zinadine Zidane.
Meski berada di balik teralis, Eurico tetap berkiprah dalam kehidupan bangsa dan negara dengan menjadi fungsionaris salah satu partai politik. Dia mengaku tak pernah merasa sakit hati dan tetap cinta Indonesia. “Sebagai warga negara kita tidak boleh merasa kecewa dengan keadaan lalu menjadi golput,” ujarnya.
Memperingati ulang tahun kemerdekaan yang ke 62 tahun, Eurico menitipkan dua harapannya. Pertama, agar 17 Agustus dijadikan momentum untuk menumbuhkan nasionalisme dan rasa cinta tanah air.
Harapan selanjutnya, agar pemimpin bangsa saat ini membangun tradisi baru yakni bersilahturahmi dengan mantan pemimpin sebelumnya. Karena bagaimanapun, jelas Eurico, pemimpin terdahulu telah berjasa pada bangsa dan negara. “Jika ini dilakukan, akan menjadi contoh generasi yang akan datang.”
*) foto by Okky P Madasari.
Koleksi lama pasca gempa, Klaten, Jawa Tengah.
Foto agak ngga nyambung,
soalnya 350 D ku disita di ruang pemeriksaan.
Lagi males, masang foto Eurico yang lama.
Ini aja dech, kan ada nuansa merah putihnya hehe
Next time musti bikin strategi buat ambil gambar di LP :)
4 comments:
Meski fotonya nggak nyambung, tetep bagus kok :)
Saya suka dengan pesan Eurico yang terakhir : "membangun tradisi bersilaturahmi dengan mantan pemimpin sebelumnya"
Karena di Indonesia setiap ada pemimpin baru terpilih, pemimpin sebelumnya pindah jadi oposisi. Program pemimpin yang lalu dihentikan dan dibuat program baru yang katanya 'lebih baik'. Kapan mau beres?!?!
hidup-lah indonesia raya...
ku sangat menghargai para pahlawan yang dahulu puput dalam perangnya tuk membela tanah air kita!!!
namun mengapa setiap orang selalu melihat dengan perspektif yang berbeda...alangkah hebatnya tuhan!!!yang mengatas namakan perbedaan...sampai kapan orang yang bernasionalime tinggi di bungkam!!!
dasar sistim yang selalu berpihat...haruskah kita diam saja!!!
cukup dengan satu kata...LAWAN!!!!
Nasionalisme memang sudah sangat sangat sangat pudar dari negeri ini.BRAVO EURICO GUTERES
Post a Comment