ALFRED menghampiri saya pada detik-detik terakhir sebelum kami meninggalkan Desa Tanjung Paku, untuk kembali ke camp PT. Sari Bumi Kusuma dan meneruskan perjalanan 12 jam ke Pontianak.
Desa Tanjung Paku adalah salah satu desa binaan PT. SBK – perusahaan pemegang hak pengelolaan hutan (HPH) di Blok Seruyan dan Blok Delang, Kalimantan Tengah.
Desa ini dihuni 160 kepala keluarga yang semuanya beretnis Dayak – suku asli daerah ini.Kehadiran Alfred awalnya tak begitu saya hiraukan. Saya manfaatkan sedikit waktu yang tersisa untuk memotret sebanyak-banyaknya. Segala informasi telah cukup didapat dari pertemuan dengan puluhan warga di balai pertemuan.
“Begitulah perusahaan
. Kalau membantu hanya untuk formalitas,” ujar Alfred tiba-tiba.
Saya rasa dia cukup tahu bagaimana memancing perhatian seorang wartawan. Dan caranya berhasil.
“Maksudnya?” saya menggali lebih dalam.
Alfred melanjutkan ceritanya. Laki-laki yang baru menginjak usia 30 an ini seorang pegawai negeri sipil yang ditugaskan sebagai guru sekolah dasar di desa ini. Sudah 3,5 tahun dia mengajar di SD yang menjadi satu-satunya sekolah di Desa Tanjung Paku.
“Seluruh warga disini sudah dibungkam dengan uang. Semuanya tidak mau bicara,” ujarnya.
Alfred membeberkan banyak hal. Tentang perusahaan yang sering menebang di wilayah yang dilindungi, bantuan pendidikan yang tak layak, hingga sulitnya meminta bantuan pada perusahaan ketika ada warga yang sakit.
“Kalau ada yang sakit minta dibawa ke rumah sakit mobilnya tidak segera datang.”
Di wilayah ini transportasi merupakan masalah utama. Kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang semuanya milik PT SBK. Dibutuhkan minimal perjalanan 4 jam dengan kendaraan bermotor atau 3 jam jika disambung perjalanan lewat sungai untuk menuju pusat kota terdekat.
Cerita Alfred pun berganti.
Kali ini soal pendidikan dan anak-anak, dua hal yang erat dalam kesehariannya sebagai seorang guru. Kami berbincang tepat di halaman gedung sekolah dengan dikelilingi anak-anak yang telah mengantar saya berkeliling desa.
Setiap kata yang dikatakan Alfred seolah menjadi narasi dalam setiap hal yang saya lihat. Gedung sekolah yang reot, papan dan cat yang terlihat kumuh, dan anak-anak yang terlihat lusuh dan “terpana” dengan kehadiran orang asing.
Situasi yang sangat berbeda ketika beberapa jam sebelumnya saya mampir di SDS SBK – sekolah dasar yang didirikan perusahaan untuk anak-anak karyawannya. Di SDS SBK, segala fasilitas tersedia.
Gedung nya terlihat baru dan selalu terawat. Anak-anak terlihat ceria dan pandai besosialisasi. Tahun ini, siswa SD tersebut meraih nilai ujian tertinggi di tingkat kabupaten. Guru-guru di SD ini berstatus sebagai karyawan PT SBK yang ditugaskan sebagai guru pengajar.
“Anak-anak sini tidak boleh sekolah disana,” ujar Alfred.
Menurutnya, meski banyak warga Tanjung Paku yang bekerja di perusahaan, mereka hanya sebagai buruh atau pekerja kasar.
“Paling tidak harus anak mandor yang bisa sekolah di sana.”
Suara tepukan tangan mengagetkan saya. Antonius dari Radio Netherland tampak melambaikan tangan dari balai pertemuan yang jaraknya sekitar 300 meter dengan sekolah. Isyarat bahwa kami harus segera meneruskan perjalanan.
Kami menuju camp PT SBK. Sebuah bangunan mirip resort di tengah belantara. Dua jam kemudian kami telah berada dalam sebuah boat yang melintasi sungai Melawi selama 1,5 jam.
Hutan belantara yang penuh kayu, sungai yang mengandung emas, dan tambang yang penuh mineral. Kemana larinya semua kekayaan itu?
*) foto 1-4, anak-anak di Desa Tanjung Paku
foto 5-6, SD SBK- sekolah khusus anak karyawan
Semua gambar-kecuali gambar 6 & 7 -diambil oleh Okky
Kalimantan Barat - Kalimantan Tengah, 24 - 27 Agustus 2007
3 comments:
Good story.....kira-kira para pemangku kepentingan ikut mbaca kata-katamu ini nggak ya?
Hmmm...sekolahnya mengingatkan saya pada latar cerita di novel "laskar pelangi".
Semoga selain dapat mengingatkan pihak yang bertanggung jawab, kedatangan mbak kesana bisa jadi stimulus buat masyarakat dan anak-anak desa Tanjung Paku untuk berusaha terus maju dan menjadi lebih baik.
Jalan-jalan terus nih, si Okky! Tapi beda loh rasanya keluyuran sendirian. Lebih-lebih kalan sambil berjalan kaki. Lebih seru, loh....
Post a Comment