About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Friday, February 16, 2007

Perempuan, Pram, dan Poligami

NYAI Ontosoroh dan Gadis Pantai, malam ini menyita begitu banyak perhatian dan energi. Galeri 3, Taman Ismail Marzuki, menjadi saksi bagaimana tokoh ciptaan Pramudya ini tak sekedar dianggap rekaan – melainkan telah menjadi bagian dari sejarah.

Kedua perempuan ini memiliki 'kisahnya' masing-masing. Nyai Ontosoroh yang begitu sempurna, pintar, dan berpengaruh. Gadis Pantai yang lemah, lugu, meski belakangan memiliki kesadaran kemanusiaan. Ada satu garis merah yang menjadi pengikat tiga perempuan Pram ini : Perempuan yang menjadi korban sistem patriarki. Masing-masing dalam bentuk yang berbeda. Nyai Ontosoroh dalam konteks kolonialisme, sedangkan Gadis Pantai dalam belenggu feodalisme.

Sebuah karya sastra memang multitafsir. Apalagi ketika sang pengarang telah tiada. Masing-masing pihak seolah hanya mereka dan mencoba 'sok tahu' tentang jalan pikiran Pram. Seorang feminiskah Pram? Apa yang dia pikirkan saat memainkan peran perempuan-perempuan tersebut? Apakah Pram menjadikan seorang perempuan sebagai subyek atau hanya sekedar obyek?

Bagi saya pribadi, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah terlalu penting. Saya lebih peduli pada klemahiran Pram menangkap sebuah realitas di sekitarnya. Sebuah kenyataan yang seringkali dilupakan banyak orang karena dianggap telah biasa. Meski, ditulis hampir tiga puluh tahun lalu dan mengambil setting kehidupan di awal abad 20, rekaman peristiwa yang diangkat Pram sejatinya masih kerap dijumpai dalam kehidupan saat ini.

Kisah pernikahan Gadis Pantai, misalnya, apa bedanya dengan 'cerita indah' poligami? Poligami merupakan sebuah dunia yang diciptakan dan dimainkan oleh laki-laki. Poligami mensyaratkan penerimaan perempuan dalam konteks keterpaksaan. Sampai kini, saya masih percaya, tak ada satupun perempuan yang dengan senang hati bisa menerima keputusan suaminya untuk berpoligami.

Dalam situasi yang berbeda, saya menjumpai seorang perempuan yang memilih untuk tidak dipoligami dan hidup mandiri lepas dari suaminya. Di usia yang tak lagi muda, dia memulai segalanya dari nol. Karier yang sempat ditinggalkan demi suami dan anak-anaknya kini mulai dirintis kembali. Kemewahan, kenyamanan, dan status sosial yang dirasakan saat menjadi istri seorang priyayi masa kini lenyap sudah. Di usia yang sebenanrnya sudah tidak layak lagi untuk mengalami itu semua.

Kini, posisinya digantikan dengan seseorang yang baru. Perempuan yang lebih muda. Tentu saja, penggantinya tak pernah merasakan berliku-likunya kehidupan yang pernah dirintisnya bersama sang mantan suami. Istri yang baru hanya tinggal menikmati.

Dan sang perempuan kini menikmati kesendirian. Anak-anaknya memilih untuk ikut suaminya. Pilihan yang cukup masuk akal, karena mereka masih membutuhkan banyak biaya. Sampai kini saya tak bisa membayangkan bagimana hari-hari perempuan tersebut. Beratnya kehidupannya di tengah masyarakat yang masih suka mencibir dan tak mau memahami.

Perempuan ini bukanlah tokoh ciptaan. Dia benar-benar ada dan menjadi bagian kehidupan kita. Di era yang semangat feminisme begitu menggelora, keberadaanya bagai sebuah pukulan yang tepat mengenai idealisme dan semangat saya. Ternyata ide dan pemikiran tak cukup untuk menolongnya.









0 comments: