PRAMUDYA Ananta Toer hanya menyebutnya Gadis Pantai. Tak ada nama lain. Entah apa tujuannya, mungkin agar setiap orang bisa mengembangkan imajinasinya masing-masing untuk menggambarkan sosok perempuan tersebut.
Umurnya baru 14 tahun ketika orang tuanya membawa Gadis Pantai pada seorang bendoro di kota. Dari sebuah desa nelayan miskin, Gadis Pantai kemudian tinggal dalam sebuah rumah gedung yang menyediakan segala bentuk kemewahan. Rumah itu pula yang kemudian memberinya sebuah nama : Mas Nganten. Gelar kehormatan untuk seseorang yang menjadi "istri" seorang bendoro.
Hari-hari Gadis Pantai selanjutnya berjalan sangat lambat. Dia mendapat emas permata dan pakaian yang indah. Tak ada lagi beban kerja berat yang mesti dilakukan. Untuk mengisi hari, beberapa kali dalam seminggu seorang guru datang untuk mengajarinya membatik, menjahit, merenda, dan membuat kue. Selebihnya, dia hanya akan berada di dalam kamar menanti sang bendoro datang - dan selanjutnya Gadis Pantai akan menjalankan tugasnya : melayani nafsu seks sang Bendoro.
Gadis Pantai hanya melayani. Dia tidak akan pernah berani bertanya ataupun meminta. Sekedar duduk bersama bendoro dan bercerita berbagai halpun tak bisa dilakukan. Karena dia bukanlah istri tapi seorang abdi yang dinikahi resmi dan bertugas memenuhi nafsu sang bendoro. Dia seorang abdi yang dipandang dengan hormat oleh masyarakat lainnya hanya karena dia punya banyak emas dan tinggal di istana megah.
*****
I'm Javanese. Bukan bermaksud memunculkan sentimen primordial-tapi hanya ingin menggambarkan persamaan situasi dengan setting cerita Gadis Pantai : Feodalisme Jawa.
Awalnya saya dua bersaudara-keduanya perempuan. Hingga kemudian adik saya yang paling kecil lahir-juga perempuan. Sejak kecil kami tumbuh dan dididik dalam lingkungan yang sama sekali tidak pernah mempermasalahkan keperempuan kami. Kami didorong untuk maju, untuk memiliki prestasi, kebanggaan, kesuksesan, dan tentu saja ketegaran.
Pun, ketika saya sekarang tinggal jauh dengan ortu di usia yang tidak lagi remaja, tak ada beban yang membatasi gerak langkah saya. Kalaupun sekarang pembicaraan mengenai pernikahan telah mulai disiratkan, semunya tak lebih dari sebuah diskusi tentang rencana hidup selanjutnya - bukan sebuah kewajiban yang tengah menanti.
Sejak kecil saya selalu tahu apa yang saya inginkan. Dan setiap hal dalam hidup saya adalah sebuah pilihan dan keputusan yang saya ambil. Nasib saya tidak pernah dipilihkan atau diputuskan oleh orang lain termasuk orang tua.
******
Kedua orang tua saya punya latar belakang berbeda. Papa lahir dalam sebuah keluarga priyayi Jawa. Kakek saya seorang yang mengenyam pendidikan tinggi pada masa pendudukan Belanda. Mereka selalu berpindah tempat tinggal karena penugasan. Pada masa hidupnya, dia aktif dalam berbagai kegiatan sosial kebudayaan. Jabatan terakhir yang didudukinya adalah Kepala Dinas P dan K Kabupaten Ngawi.
Nenek saya benar-benar mencerminkan figur istri priyayi kala itu. Mengabdi dan melayani. Pintar masak dan bisa membatik. Penurut, kalem, aktif di beberapa organisasi sosial bekas teman-teman mendiang suaminya-hingga akhirnya ajal menjemput.
Sementara Mama, lahir dan besar dalam keluarga tani. Tanpa pendidikan dan pengetahuan agama-hanya tahu kerja keras untuk mendapatkan uang. Di keluarga Mama, Eyang Putri saya sangat dominan. Dia bekerja keras membanting tulang, mengumpulkan sen demi sen, hingga akhirnya memiliki harta yang berkecukupan. Mungkin itu yang membuatnya cenderung keras dan kurang mau mendengarkan pendapat orang lain. Kedua anaknya yang perempuan sekolah hingga menjadi sarjana.
Lepas dari kultur kedua keluarga, keluarga kecil kami punya budaya dan role model sendiri. Mama tentu saja bukan seperti Nenek dari Papa, yang kalem dan hanya melayani. Sifat keras dan aktif dari ibunya masih tetap terbawa. Apalagi dalam bahasanya: sejak kecil biasa hidup tidak enak.
Begitupun Papa. Mungkin jauh di lubuk hatinya dia kerap membayangkan figur istri seperti ibunya. Namun, dia juga sadar : segalanya telah berubah dan berbeda. Istri bukan hanya bertugas melayani dan mengabdi. Tinggal di rumah menanti sang suami, hingga pelan-pelan daya pikirnya terkikis. Istri juga diperlukan untuk rekan diskusi. Penimbang berbagai keputusan, penguat di kala berbagai masalah menerjang. Lebih dari itu, seorang istri juga layak untuk mandiri secara finansial. Meski dalam kondisi tertentu perlu ditentukan sebuah prioritas.
Dan seperti itu pula yang entah sengaja atau tidak terpatrikan dalam jiwa kami. Anak-anaknya. Karena kami semua perempuan...
*) Picture by Yusuf Arifin. Pantai Kukup, Gunung Kidul
**) Picture by Budhi Baskoro. Baduy Dalam, Banten
Umurnya baru 14 tahun ketika orang tuanya membawa Gadis Pantai pada seorang bendoro di kota. Dari sebuah desa nelayan miskin, Gadis Pantai kemudian tinggal dalam sebuah rumah gedung yang menyediakan segala bentuk kemewahan. Rumah itu pula yang kemudian memberinya sebuah nama : Mas Nganten. Gelar kehormatan untuk seseorang yang menjadi "istri" seorang bendoro.
Hari-hari Gadis Pantai selanjutnya berjalan sangat lambat. Dia mendapat emas permata dan pakaian yang indah. Tak ada lagi beban kerja berat yang mesti dilakukan. Untuk mengisi hari, beberapa kali dalam seminggu seorang guru datang untuk mengajarinya membatik, menjahit, merenda, dan membuat kue. Selebihnya, dia hanya akan berada di dalam kamar menanti sang bendoro datang - dan selanjutnya Gadis Pantai akan menjalankan tugasnya : melayani nafsu seks sang Bendoro.
Gadis Pantai hanya melayani. Dia tidak akan pernah berani bertanya ataupun meminta. Sekedar duduk bersama bendoro dan bercerita berbagai halpun tak bisa dilakukan. Karena dia bukanlah istri tapi seorang abdi yang dinikahi resmi dan bertugas memenuhi nafsu sang bendoro. Dia seorang abdi yang dipandang dengan hormat oleh masyarakat lainnya hanya karena dia punya banyak emas dan tinggal di istana megah.
*****
I'm Javanese. Bukan bermaksud memunculkan sentimen primordial-tapi hanya ingin menggambarkan persamaan situasi dengan setting cerita Gadis Pantai : Feodalisme Jawa.
Awalnya saya dua bersaudara-keduanya perempuan. Hingga kemudian adik saya yang paling kecil lahir-juga perempuan. Sejak kecil kami tumbuh dan dididik dalam lingkungan yang sama sekali tidak pernah mempermasalahkan keperempuan kami. Kami didorong untuk maju, untuk memiliki prestasi, kebanggaan, kesuksesan, dan tentu saja ketegaran.
Pun, ketika saya sekarang tinggal jauh dengan ortu di usia yang tidak lagi remaja, tak ada beban yang membatasi gerak langkah saya. Kalaupun sekarang pembicaraan mengenai pernikahan telah mulai disiratkan, semunya tak lebih dari sebuah diskusi tentang rencana hidup selanjutnya - bukan sebuah kewajiban yang tengah menanti.
Sejak kecil saya selalu tahu apa yang saya inginkan. Dan setiap hal dalam hidup saya adalah sebuah pilihan dan keputusan yang saya ambil. Nasib saya tidak pernah dipilihkan atau diputuskan oleh orang lain termasuk orang tua.
******
Kedua orang tua saya punya latar belakang berbeda. Papa lahir dalam sebuah keluarga priyayi Jawa. Kakek saya seorang yang mengenyam pendidikan tinggi pada masa pendudukan Belanda. Mereka selalu berpindah tempat tinggal karena penugasan. Pada masa hidupnya, dia aktif dalam berbagai kegiatan sosial kebudayaan. Jabatan terakhir yang didudukinya adalah Kepala Dinas P dan K Kabupaten Ngawi.
Nenek saya benar-benar mencerminkan figur istri priyayi kala itu. Mengabdi dan melayani. Pintar masak dan bisa membatik. Penurut, kalem, aktif di beberapa organisasi sosial bekas teman-teman mendiang suaminya-hingga akhirnya ajal menjemput.
Sementara Mama, lahir dan besar dalam keluarga tani. Tanpa pendidikan dan pengetahuan agama-hanya tahu kerja keras untuk mendapatkan uang. Di keluarga Mama, Eyang Putri saya sangat dominan. Dia bekerja keras membanting tulang, mengumpulkan sen demi sen, hingga akhirnya memiliki harta yang berkecukupan. Mungkin itu yang membuatnya cenderung keras dan kurang mau mendengarkan pendapat orang lain. Kedua anaknya yang perempuan sekolah hingga menjadi sarjana.
Lepas dari kultur kedua keluarga, keluarga kecil kami punya budaya dan role model sendiri. Mama tentu saja bukan seperti Nenek dari Papa, yang kalem dan hanya melayani. Sifat keras dan aktif dari ibunya masih tetap terbawa. Apalagi dalam bahasanya: sejak kecil biasa hidup tidak enak.
Begitupun Papa. Mungkin jauh di lubuk hatinya dia kerap membayangkan figur istri seperti ibunya. Namun, dia juga sadar : segalanya telah berubah dan berbeda. Istri bukan hanya bertugas melayani dan mengabdi. Tinggal di rumah menanti sang suami, hingga pelan-pelan daya pikirnya terkikis. Istri juga diperlukan untuk rekan diskusi. Penimbang berbagai keputusan, penguat di kala berbagai masalah menerjang. Lebih dari itu, seorang istri juga layak untuk mandiri secara finansial. Meski dalam kondisi tertentu perlu ditentukan sebuah prioritas.
Dan seperti itu pula yang entah sengaja atau tidak terpatrikan dalam jiwa kami. Anak-anaknya. Karena kami semua perempuan...
*) Picture by Yusuf Arifin. Pantai Kukup, Gunung Kidul
**) Picture by Budhi Baskoro. Baduy Dalam, Banten
2 comments:
cukupkah menjadi pengagum Pram?
'sayangnya', Pram menjadikan ending Gadis Pantai mengambang. atua memang itu seninya cerita.
lalu dari sana,saya 'mereproduksi' quotation: mengerikan, mengerikan kawan perempuan itu..
Inilah tulisan yang membuatku berhadap-hadapan dengan pemahaman bahwa lelaki dan perempuan adalah kakak beradik
Post a Comment