SEBENARNYA, saya menyukai hujan. Sebuah kalimat yang jarang saya ucapkan-di tengah beragam tuntutan aktivitas yang seringkali terganggu ketika guyuran air jatuh ke bumi. Hujan datang bersama kedamaian. Suaranya yang membasahi genting merupakan melodi alam yang indah. Suasana hari yang berubah menjadi kelabu-justru memberi kehangatan. Menikmati hujan dari balik jendela - bak membuka lembaran album foto yang kadang terlupa.
"Kita tak pernah tahu kita sedang membuat kenangan." Kalimat ini saya dapatkan dari buku Chicken Soup (saya lupa serinya karena buku pinjaman) yang saya baca sekitar enam tahun silam. Kalimat itu begitu menginspirasi saya. Hari-hari saya di SMU saya jalankan dengan satu prinsip : Semuanya akan menjadi kenangan, mari membuat kenangan yang layak dikenang!
Februari enam tahun lalu, saya masih menikmati hujan sepanjang perjalanan Magetan-Madiun. Membawa tumpukan berkas majalah sekolah yang harus dicetak tepat pada waktunya. Di bawah guyuran hujan sebuah semangat untuk menghasilkan karya terbaik lahir.
Tiga tahun itu, energi yang maha dahsyat hadir. Sebuah kreativitas yang tiada batas. Kelelahan dan keputusasaan tak pernah dikenal. Ada karya, ada persahabatan, beragam permasalahan, ketulusan dan juga keindahan. Kini semua terangkum menjadi sebuah kenangan.
Februari tahun lalu, saya melalui waktu dengan cepat - tak disangka itulah hari-hari terakhir saya tinggal di Jogja. Kadang saya berpikir, andai saya tahu dua bulan kemudian saya harus meninggalkan kota itu, apa yang akan saya lakukan? Mungkinkah saya akan mengundurkan diri sebagai reporter TVRI Jogja saat itu juga? Menikmati lebih banyak hujan. Hujan di Merbabu atau di Wedi Ombo.
Tiga tahun juga saya mengukir kenangan di Bulaksumur. Tentu dengan kisah yang berbeda dengan tiga tahun sebelumnya. Sebuah penjelajahan dimulai. Berbagai perjalanan yang tak pernah dilakukan sebelumnya.
Februari ini, saya memandang awan hitam dari jendela lantai empat. Mengimbangi dinginnya AC dengan segelas teh hangat. Merajut kata demi kata, kalimat demi kalimat. Sembari membayangkan : dimanakah saya Februari yang akan datang?
Akankah hujan menjadi berbeda jika jatuh di negara dengan empat musim? Tak akan terjawab sebelum merasakan. Bukankah hidup menjadi berarti ketika masih ada sesuatu yang diharapkan?
*) Picture by RA Vadin. Lokasi : Pemuda 34
*) Picture by RA Vadin. Lokasi : Pemuda 34
2 comments:
mode melow on ya ky.. :D
Saya teringat sebuah lagu berjudul Februari yang digubah dari puisi teman saya. Salah satu liriknya kayak begini: Maka Februari ini, semoga abadi...
Post a Comment