NAMANYA Matsukawa Nozomi. Seorang Jepang totok yang fasih berbahasa Indonesia. Wajar saja, karena dia wartawan The Daily Jakarta Shimbun-koran Jepang yang terbit di Jakarta. Malam itu kami berjumpa saat menonton pementasan balet asli dari Rusia "Sleeping Beauty". Pertunjukan yang terbilang langka di Jakarta dan Indonesia pada umumnya.
Matsukawa pecinta balet sejati. Menurutnya, di Jepang menonton balet adalah hal yang menjadi bagian keseharianya. "Sayang sekali di Indonesia jarang ada," ujarnya.
Selama 2,5 jam pertunjukkan, Matsukawa memperhatikan dengan sangat antusias. Tampak sekali dia sangat mengerti setiap detail gerakan yang dilakukan para pemain. Tak jarang dia mendahuli bertepuk tangan di saat penonton yang lain merasa belum perlu bertepuk tangan. "Ups sorry, bagus sekali," bisiknya saat menyadari tepuk tanganya menyita perhatian.
"Kamu bisa mengerti?" tanyanya pada saya. Matsukawa tahu ini kali pertama saya menonton balet, apalagi balet asli dari Rusia. Saya menggeleng sambil tertawa. "Aku hanya tahu ini dongeng Putri Tidur. Selebihnya, aku lebih menikmati gerakan dan tarian mereka, sangat indah," jawabku jujur.
Pembicaraan kami pun berlanjut. "Kamu kan muslim, apa pendapatmu melihat pementasan yang menggunakan busana yang sangat minim dan gerakan yang tidak sopan seperti ini?" tanyanya.
"Tidak masalah, ini adalah seni," jawab saya penuh keyakinan.
Sekilas saya lihat, Matsukawa setengah tak percaya dengan jawaban tersebut. Dia lalu memaparkan persepsinya tentang RUU Pornografi dan Pornoaksi yang sempat menggegerkan itu. Menurutnya, pementasan balet jarang diadakan di Indonesia, karena masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim tak bisa menerimanya. Andai RUU APP jadi disahkan, pementasan balet akan dilarang di Indonesia. "Ini tidak halal kan?"
Hmm, saya agak terpukau mendengar paparannya. Mungkin apa yang ada di pikiran matsukawa juga ada di benak orang di berbagai negara di seluruh dunia. Saya pun mulai menyampaikan apa yang ada dalam pikiran saya. Secara pribadi, saya tidak setuju dengan RUU APP. Dalam pandangan saya, hal seperti itu tidak selayaknya diatur oleh negara. Meski demikian, saya mengoreksi pendapat Matsukawa. "Andai RUU APP disahkan, pertunjukkan seperti ini juga tidak mungkin dilarang," jelas saya.
Matsukawa tak percaya. Lalu saya menyampaikan bahwa RUU APP juga tidak semena-mena menentukan mana yang pornografi dan mana yang tidak. Sebuah tarian balet yang dimainkan dengan indah, pada sebuah panggung pertunjukkan dengan penonton yang jelas, tentu bukan pornografi. Berbeda halnya jika seseorang menari telanjang di tengah jalan. Pun walaupun pakaian yang dikenakan penari balet minim, itu juga tidak salah. Apa bedanya dengan kita yang mengenakan bikini saat berenang?
Tapi lagi-lagi saya bilang, saya tak sepakat RUU APP diserahkan. Batasan pornografi adalah ruang dan waktu. Jika tempatnya benar dan waktunya tepat, tentu tak ada masalah. Dan itu sudah terwakili dalam UU Penyiaran. Kalau misalnya, ada seorang menari telanjang di tengah jalan, tanpa UU anti pornografi, dia bisa dikenai pasal mengganggu ketertiban umum. Atau bisa jadi membawa orang tersebut ke rumah sakit jiwa menjadi pilihan tepat. Jangan-jangan dia memang wong edan.
*) Picture by Dedy Priambodo. Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Matsukawa pecinta balet sejati. Menurutnya, di Jepang menonton balet adalah hal yang menjadi bagian keseharianya. "Sayang sekali di Indonesia jarang ada," ujarnya.
Selama 2,5 jam pertunjukkan, Matsukawa memperhatikan dengan sangat antusias. Tampak sekali dia sangat mengerti setiap detail gerakan yang dilakukan para pemain. Tak jarang dia mendahuli bertepuk tangan di saat penonton yang lain merasa belum perlu bertepuk tangan. "Ups sorry, bagus sekali," bisiknya saat menyadari tepuk tanganya menyita perhatian.
"Kamu bisa mengerti?" tanyanya pada saya. Matsukawa tahu ini kali pertama saya menonton balet, apalagi balet asli dari Rusia. Saya menggeleng sambil tertawa. "Aku hanya tahu ini dongeng Putri Tidur. Selebihnya, aku lebih menikmati gerakan dan tarian mereka, sangat indah," jawabku jujur.
Pembicaraan kami pun berlanjut. "Kamu kan muslim, apa pendapatmu melihat pementasan yang menggunakan busana yang sangat minim dan gerakan yang tidak sopan seperti ini?" tanyanya.
"Tidak masalah, ini adalah seni," jawab saya penuh keyakinan.
Sekilas saya lihat, Matsukawa setengah tak percaya dengan jawaban tersebut. Dia lalu memaparkan persepsinya tentang RUU Pornografi dan Pornoaksi yang sempat menggegerkan itu. Menurutnya, pementasan balet jarang diadakan di Indonesia, karena masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim tak bisa menerimanya. Andai RUU APP jadi disahkan, pementasan balet akan dilarang di Indonesia. "Ini tidak halal kan?"
Hmm, saya agak terpukau mendengar paparannya. Mungkin apa yang ada di pikiran matsukawa juga ada di benak orang di berbagai negara di seluruh dunia. Saya pun mulai menyampaikan apa yang ada dalam pikiran saya. Secara pribadi, saya tidak setuju dengan RUU APP. Dalam pandangan saya, hal seperti itu tidak selayaknya diatur oleh negara. Meski demikian, saya mengoreksi pendapat Matsukawa. "Andai RUU APP disahkan, pertunjukkan seperti ini juga tidak mungkin dilarang," jelas saya.
Matsukawa tak percaya. Lalu saya menyampaikan bahwa RUU APP juga tidak semena-mena menentukan mana yang pornografi dan mana yang tidak. Sebuah tarian balet yang dimainkan dengan indah, pada sebuah panggung pertunjukkan dengan penonton yang jelas, tentu bukan pornografi. Berbeda halnya jika seseorang menari telanjang di tengah jalan. Pun walaupun pakaian yang dikenakan penari balet minim, itu juga tidak salah. Apa bedanya dengan kita yang mengenakan bikini saat berenang?
Tapi lagi-lagi saya bilang, saya tak sepakat RUU APP diserahkan. Batasan pornografi adalah ruang dan waktu. Jika tempatnya benar dan waktunya tepat, tentu tak ada masalah. Dan itu sudah terwakili dalam UU Penyiaran. Kalau misalnya, ada seorang menari telanjang di tengah jalan, tanpa UU anti pornografi, dia bisa dikenai pasal mengganggu ketertiban umum. Atau bisa jadi membawa orang tersebut ke rumah sakit jiwa menjadi pilihan tepat. Jangan-jangan dia memang wong edan.
*) Picture by Dedy Priambodo. Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
3 comments:
"Kamu kan muslim, apa pendapatmu melihat pementasan yang menggunakan busana yang sangat minim dan gerakan yang tidak sopan seperti ini?" tanyanya.
"Tidak masalah, ini adalah seni," jawab saya penuh keyakinan.
???????????????????????
Islam agama yg memberikan tuntunan moral dalam segala aspek kehidupan termasuk dlm berbusana dan seni.
dlm Islam sangat jelas sekali batasan yg tdk pantas dilihat (aurat), apapun alasannya.
Ky, aq terkaget-kaget menemukan kamu bisa menulis hal seperti ini dari pertunjukan balet. Kamu bener2 banyak ide yaks, trus jeli pengamatannya...dan cukup telaten buat menuliskannya...hehehe
Aq juga nonton pertunjukan yang sama loh. Tapi cuma kepikiran nulis tentang tariannya...
Mya
hi...
kayaknya saya kenal dengan nozomi yang kamu ceritakan itu...
saya juga baru kenalan dengan dia,sempet tukeran nomor HP tapi kayaknya saya salah tulis no HP mimi(nama kecil Nozomi).mungkin kamu punya no hP atau email dia?tolong kirim saja ke clarinetisdude@yahoo.com
terima kasih sebelumnya
Post a Comment