KEMENANGAN AL GORE dan film dokumenternya An Incovenient Truth mengingatkan saya pada obrolan singkat dengan Pakar Tata Kota, Marco Kusumawijaya, hampir sebulan yang lalu- sebelum Oscar diumumkan. Mas Marco dengan sangat antusiasnya bercerita tentang fenomena global warming (pemanasan global) yang diungkap dengan sangat apik oleh Gore. "Dari film itu kita semua akan tahu global warming bukan mitos tapi sesuatu yang nyata," ujarnya.
Film garapan sutradara Davis Guggenheim ini menuturkan perjuangan mantan Wakil Presiden dan calon Presiden Amerika Al Gore dalam meyakinkan masyarakat dan pemimpin Amerika serta dunia tentang pemanasan global. "Kita harus memecahkan krisis iklim, ini bukan isu politik tapi isu moral," ujar Al Gore saat menerima Oscar di Kodak Theater.
Film ini dimulai dengan gambar alam yang masih murni, sungai jernih, dan pohon menghijau. Gore lalu memulai penjelasan tentang efek rumah kaca, yaitu pemantulan sinar infra merah dari sinar matahari yang tidak dapat menembus atap gelas rumah kaca sehingga suhu di dalam rumah kaca lebih hangat dari luar. Untuk Bumi, yang bertindak sebagai rumah kaca adalah emisi gas-gas polutan, terutama CO2.
Meski berbagai laporan ilmiah menegaskan bukti naiknya jumlah CO2 di atmosfer sejalan dengan naiknya suhu Bumi, Pemerintah Amerika tak mau mengakuinya. Padahal mereka adalah pembuang CO2 terbesar di dunia.
Gore lalu menghubungkan pemanasan Bumi dengan perubahan alam. Badai lebih kerap dan besar sebab memanasnya suhu laut memberi banyak uap air untuk disumbangkan pada hujan badai, seperti Katrina di New Oeleans. Bersamaan dengan itu, es meleleh di Kutub Utara, Eropa, Amerika Selatan, dan Himalaya. Hujan dan banjir terjadi di Asia diikuti dengan kekeringan.
Marco telah menggambarkan kepada saya dengan cukup detail gambaran film dokumenter tersebut, sebelum saya sendiri menontonnya. Sebagai seorang enviromentalis, dia berusaha memberikan pemahaman tentang lingkungan, kerusakan yang saat ini tengah terjadi, dan membangun kesadaran untuk bersama-sama melakukan perubahan.
Banjir yang saat itu baru saja surut dari Jakarta, diyakininya sebagai akibat dari kesalahan kita dalam memahami ekologi. "Banjir itu masalah ekologi, bukan konsep pemerintahan," ujarnya tegas. Marco menolak solusi seperti pemindahan ibukota ataupun konsep megapolitan yang tengah diributkan. "Tidak harus megapolitan, yang penting bagaimana mengatur daerah tangkapan air bersama-sama," tegasnya.
Marco tidak melihat Jakarta sebagai sebuah kota yang kelebihan beban. Pun dia tidak menolak konsep pembangunan. "Ibarat bumi terasa sesak, akankah kita membuat koloni di Planet Mars," kata-kata dia yang selalu saya ingat.
Konsep yang ditawarkan Marco adalah harmoni antara pembangunan dan kelestarian lingkungan. Setiap ada pembangunan, sekaligus juga harus dipikirkan agar lahan yang kini telah dibangun tak kehilangan daya dukung lingkungannya. Paling tidak, setiap bangunan harus mampu menahan bebannya sendiri. Air yang semula mampu diserap lahan kosong, harus tetap terserap dalam kapasitas yang sama besar, meski telah berdiri bangunan. Karena itu, pembuat bangunan harus berpikir untuk membuat serapan atau menyediakan sisa tanah. Bukan dengan mengalirkan air ke got atau ke lahan lain.
Marco tak sekedar berbual dengan pengetahuannya. Di rumahnya yang asri, Ketua Dewan Kesenian Jakarta ini juga telah memberi contoh bagaimana rumahnya mampu menahan bebannya sendiri. Penataan halamannya yang tak luas, namun penuh rumput bukan tanpa alasan. Tentu saja agar air terserap dengan baik. Jendela rumahnya lebar, tanpa kaca, tidak tanpa tujuan. Melainkan agar udara bebas keluar masuk ke dalam rumahnya. Dengan begitu, Marco bisa konsisten dengan ketidaksukaanya pada pendingin udara (AC). AC membuat udara dalam ruangan dingin, namun bersamaan dengan itu, udara di luar ruangan bertambah panas. "Memakai AC adalah dosa terbesar," ujar Marco tegas.
*) Picture by Okky P. Madasari. Tanah Abang, Jakarta Pusat
**)Picture by Budi Baskoro. Baduy Dalam, Banten
Film garapan sutradara Davis Guggenheim ini menuturkan perjuangan mantan Wakil Presiden dan calon Presiden Amerika Al Gore dalam meyakinkan masyarakat dan pemimpin Amerika serta dunia tentang pemanasan global. "Kita harus memecahkan krisis iklim, ini bukan isu politik tapi isu moral," ujar Al Gore saat menerima Oscar di Kodak Theater.
Film ini dimulai dengan gambar alam yang masih murni, sungai jernih, dan pohon menghijau. Gore lalu memulai penjelasan tentang efek rumah kaca, yaitu pemantulan sinar infra merah dari sinar matahari yang tidak dapat menembus atap gelas rumah kaca sehingga suhu di dalam rumah kaca lebih hangat dari luar. Untuk Bumi, yang bertindak sebagai rumah kaca adalah emisi gas-gas polutan, terutama CO2.
Meski berbagai laporan ilmiah menegaskan bukti naiknya jumlah CO2 di atmosfer sejalan dengan naiknya suhu Bumi, Pemerintah Amerika tak mau mengakuinya. Padahal mereka adalah pembuang CO2 terbesar di dunia.
Gore lalu menghubungkan pemanasan Bumi dengan perubahan alam. Badai lebih kerap dan besar sebab memanasnya suhu laut memberi banyak uap air untuk disumbangkan pada hujan badai, seperti Katrina di New Oeleans. Bersamaan dengan itu, es meleleh di Kutub Utara, Eropa, Amerika Selatan, dan Himalaya. Hujan dan banjir terjadi di Asia diikuti dengan kekeringan.
Marco telah menggambarkan kepada saya dengan cukup detail gambaran film dokumenter tersebut, sebelum saya sendiri menontonnya. Sebagai seorang enviromentalis, dia berusaha memberikan pemahaman tentang lingkungan, kerusakan yang saat ini tengah terjadi, dan membangun kesadaran untuk bersama-sama melakukan perubahan.
Banjir yang saat itu baru saja surut dari Jakarta, diyakininya sebagai akibat dari kesalahan kita dalam memahami ekologi. "Banjir itu masalah ekologi, bukan konsep pemerintahan," ujarnya tegas. Marco menolak solusi seperti pemindahan ibukota ataupun konsep megapolitan yang tengah diributkan. "Tidak harus megapolitan, yang penting bagaimana mengatur daerah tangkapan air bersama-sama," tegasnya.
Marco tidak melihat Jakarta sebagai sebuah kota yang kelebihan beban. Pun dia tidak menolak konsep pembangunan. "Ibarat bumi terasa sesak, akankah kita membuat koloni di Planet Mars," kata-kata dia yang selalu saya ingat.
Konsep yang ditawarkan Marco adalah harmoni antara pembangunan dan kelestarian lingkungan. Setiap ada pembangunan, sekaligus juga harus dipikirkan agar lahan yang kini telah dibangun tak kehilangan daya dukung lingkungannya. Paling tidak, setiap bangunan harus mampu menahan bebannya sendiri. Air yang semula mampu diserap lahan kosong, harus tetap terserap dalam kapasitas yang sama besar, meski telah berdiri bangunan. Karena itu, pembuat bangunan harus berpikir untuk membuat serapan atau menyediakan sisa tanah. Bukan dengan mengalirkan air ke got atau ke lahan lain.
Marco tak sekedar berbual dengan pengetahuannya. Di rumahnya yang asri, Ketua Dewan Kesenian Jakarta ini juga telah memberi contoh bagaimana rumahnya mampu menahan bebannya sendiri. Penataan halamannya yang tak luas, namun penuh rumput bukan tanpa alasan. Tentu saja agar air terserap dengan baik. Jendela rumahnya lebar, tanpa kaca, tidak tanpa tujuan. Melainkan agar udara bebas keluar masuk ke dalam rumahnya. Dengan begitu, Marco bisa konsisten dengan ketidaksukaanya pada pendingin udara (AC). AC membuat udara dalam ruangan dingin, namun bersamaan dengan itu, udara di luar ruangan bertambah panas. "Memakai AC adalah dosa terbesar," ujar Marco tegas.
*) Picture by Okky P. Madasari. Tanah Abang, Jakarta Pusat
**)Picture by Budi Baskoro. Baduy Dalam, Banten
2 comments:
setuju bahwa pembangunan harus mampu meopang lingkungan juga. jadi, kamu tidak setuju dengan megapolitan?!
btw, layout selalu sama ya ky, dgn foto diatasnya.
dan sekarang dgn tema nature, kenapa ada foto kamu di head-nya..:P
Metropolitian, megapolitan. Sepertinya kita mesti siap menyambut mahluk baru: nekropolitan (kota kematian).
Saya tidak tahu apakah Jakarta sedang menapaki tangga menuju kesana?
Post a Comment