DALAM perjalanan singkat di Provinsi Riau - menjelajahi Pekanbaru hingga Siak - hampir saya terbuai dengan romantisme nasionalisme : Indonesia adalah negara yang kaya raya. Betapa tidak, di sepanjang jalan terbentang pipa-pipa berukuran besar yang didalamnya mengalir jutaan barel minyak bumi. Sementara di atas tanah, terhampar ribuan hektar kelapa sawit yang siap diolah menjadi minyak kelapa.
Di ibukota provinsi Pekanbaru, berbagai fasilitas ala metropolitan dengan mudah dijumpai. Kendaraan yang berlalu lalang paling tua keluaran awal tahun 90 an. Baliho himbauan sang Gubernur terpampang dimana-mana. Sebuah model pencarian popularitas pejabat publik yang marak sejak diberlakukan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung.
Provinsi satu ini memang salah satu provinsi terkaya dengan Pendapatan Asli Daerah yang cukup tinggi. Upah Minimum Provinsinya diatas Rp 900 ribu. Lebih besar dibanding Jakarta yang hanya Rp 860 ribu. Maka bisa dibayangkan berapa pemasukan pejabat teras provinsi dan anggota DPRD. Pemberlakuan PP no 37 tahun 2006 yang berisi peningkatan gaji anggota DPRD berdasarkan PAD bisa dipastikan akan semakin meningkatkan kesejahteraan mereka. Apalagi jika menengok kehidupan petinggi-petinggi perusahaan minyak Caltex-yang menguasai hampir seluruh minyak di propinsi itu. Tak kalah berkilau melihat kehidupan para petinggi PTPN V-BUMN yang mengelola ribuan hektar kebun kelapa sawit di propinsi tersebut.
Di Kabupaten Siak, susana lebih lengang. Belum ada infrastruktur yang serba modern apalagi hotel berbintang lima. Maklum, kabupaten yang satu ini baru berdiri pasca reformasi. Suasana sebuah kota yang baru dibangun sangat terasa. Jalanan lengang, lahan kosong dimana-mana. Meski begitu, kemegahan gedung DPRD, kantor bupati, masjid besar, dan jembatan yang tengah dibangun tak bisa menyembunyikan kekayaan yang dimiliki daerah ini. Lagipula, hanya daerah yang "merasa kaya" yang memilih untuk memisahkan diri dan menjadi kabupaten sendiri. Kenyataannya, kabupaten ini merupakan kabupaten dengan PAD tertinggi ketiga di Indonesia, mencapai Rp 1,7 triliun.
Kondisi bertolak belakang terlihat ketika sedikit saja saya melangkah - meninggalkan pusat kota - mendekati lahan-lahan kelapa sawit. Rumah-rumah kayu sederhana berjejer. Bukan sekedar budaya tapi wajah asli masyarakat Siak.
Penduduk-penduduk miskin hidup di sekitar kawasan perkebunan, hutan-hutan produksi milik swasta, atau lahan berstatus hak guna usaha yang terbengkalai. Di Siak, lahan kosong tak terawat sebenarnya bisa ditemukan dengan mudah. Anehnya, masyarakat justru tak memiliki lahan. "Kami hidup di tanah lapang, tapi meludah pun sudah di tanah orang," guyonan getir masyarakat Siak.
Data dari pemerintah Siak, terdapat sekitar 13 ribu masyarakat miskin di Siak dengan penghasilan tak lebih dari Rp 300 ribu per bulan. Saat ini, Pemkab Siak tengah mengusahakan program pengentasan kemiskinan dengan membagai kepemilikan tanah pada warga miskin.
Lahan kosong berstatus HGU diambil alih oleh Pemkab Siak. Pihak PTPN V kemudian diajak bekerjasama menanami lahan-lahan tersebut dengan kelapa sawit. Kepemilikan lahan dibagi pada masyarakat, tiap kepala keluarga mendapat 3 hektar. PTPN V meminjami modal untuk bibit dan pengelolaan. Sebelum masa panen datang, masyarakat mendapat nafkah sebagai tenaga kerja. Kelak, ketika masa panen datang, hasil dari 3 hektar dipotong dengan cicilan modal.
Sebuah inisiatif yang patut mendapat acungan jempol. Karena sejatinya masalah tanah tak cuma masalah uang. Tanah adalah identitas.
*) Picture by Okky P. Madasari. Siak, Riau.
Di ibukota provinsi Pekanbaru, berbagai fasilitas ala metropolitan dengan mudah dijumpai. Kendaraan yang berlalu lalang paling tua keluaran awal tahun 90 an. Baliho himbauan sang Gubernur terpampang dimana-mana. Sebuah model pencarian popularitas pejabat publik yang marak sejak diberlakukan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung.
Provinsi satu ini memang salah satu provinsi terkaya dengan Pendapatan Asli Daerah yang cukup tinggi. Upah Minimum Provinsinya diatas Rp 900 ribu. Lebih besar dibanding Jakarta yang hanya Rp 860 ribu. Maka bisa dibayangkan berapa pemasukan pejabat teras provinsi dan anggota DPRD. Pemberlakuan PP no 37 tahun 2006 yang berisi peningkatan gaji anggota DPRD berdasarkan PAD bisa dipastikan akan semakin meningkatkan kesejahteraan mereka. Apalagi jika menengok kehidupan petinggi-petinggi perusahaan minyak Caltex-yang menguasai hampir seluruh minyak di propinsi itu. Tak kalah berkilau melihat kehidupan para petinggi PTPN V-BUMN yang mengelola ribuan hektar kebun kelapa sawit di propinsi tersebut.
Di Kabupaten Siak, susana lebih lengang. Belum ada infrastruktur yang serba modern apalagi hotel berbintang lima. Maklum, kabupaten yang satu ini baru berdiri pasca reformasi. Suasana sebuah kota yang baru dibangun sangat terasa. Jalanan lengang, lahan kosong dimana-mana. Meski begitu, kemegahan gedung DPRD, kantor bupati, masjid besar, dan jembatan yang tengah dibangun tak bisa menyembunyikan kekayaan yang dimiliki daerah ini. Lagipula, hanya daerah yang "merasa kaya" yang memilih untuk memisahkan diri dan menjadi kabupaten sendiri. Kenyataannya, kabupaten ini merupakan kabupaten dengan PAD tertinggi ketiga di Indonesia, mencapai Rp 1,7 triliun.
Kondisi bertolak belakang terlihat ketika sedikit saja saya melangkah - meninggalkan pusat kota - mendekati lahan-lahan kelapa sawit. Rumah-rumah kayu sederhana berjejer. Bukan sekedar budaya tapi wajah asli masyarakat Siak.
Penduduk-penduduk miskin hidup di sekitar kawasan perkebunan, hutan-hutan produksi milik swasta, atau lahan berstatus hak guna usaha yang terbengkalai. Di Siak, lahan kosong tak terawat sebenarnya bisa ditemukan dengan mudah. Anehnya, masyarakat justru tak memiliki lahan. "Kami hidup di tanah lapang, tapi meludah pun sudah di tanah orang," guyonan getir masyarakat Siak.
Data dari pemerintah Siak, terdapat sekitar 13 ribu masyarakat miskin di Siak dengan penghasilan tak lebih dari Rp 300 ribu per bulan. Saat ini, Pemkab Siak tengah mengusahakan program pengentasan kemiskinan dengan membagai kepemilikan tanah pada warga miskin.
Lahan kosong berstatus HGU diambil alih oleh Pemkab Siak. Pihak PTPN V kemudian diajak bekerjasama menanami lahan-lahan tersebut dengan kelapa sawit. Kepemilikan lahan dibagi pada masyarakat, tiap kepala keluarga mendapat 3 hektar. PTPN V meminjami modal untuk bibit dan pengelolaan. Sebelum masa panen datang, masyarakat mendapat nafkah sebagai tenaga kerja. Kelak, ketika masa panen datang, hasil dari 3 hektar dipotong dengan cicilan modal.
Sebuah inisiatif yang patut mendapat acungan jempol. Karena sejatinya masalah tanah tak cuma masalah uang. Tanah adalah identitas.
*) Picture by Okky P. Madasari. Siak, Riau.
5 comments:
masih 'nekat' sama revolusi agraria mbak?
tanah identitas, setuju!
masih 'nekat' sama revolusi agraria mbak?
tanah identitas, setuju!
Kok nggak pernah diupdate, bu?
Padahal aq ngikutin loh...
Mya
bener banget, saya krj di jakarta, tp orangtua mash krj di riau. bener banget, disana ketimpanngan terasa banget, yg pejabat dibuk berjoget (bergoyang) rakyat jelata melarat ..
Wah mantap Ky, kalo aku hanya keliling2 di pusat kota aja, itupun jalan2nya numpang dinas hehehe
Post a Comment