Saya baru saja melihat tayangan di TV, hari ini ada ritual langkah mbisu yang dilakukan masyarakat Jogja di perempatan alun-alun utara. Wah, suatu kerugian besar tidak bisa melihat upacara yang cukup jarang dilakukan itu. Sebelum gempa, saya juga mendapat informasi bahwa Mbah Marijan melakukan ritual lampah mbisu tiap malam Jum'at. Dan kini, lampah mbisu dilakukan dengan jumlah yang lebih besar di tempat yang lebih representatif bagi Jogja secara keseluruhan.
Terlepas dari masalah percaya atau tidak, saya melihat langkah mbisu sebagai sebuah kesempatan untuk merenung sejenak di tengah segala hiruk pikuk rutinitas sehari-hari. Pun dengan bencana bertubi-tubi yang terjadi di Jogja, saya merasa ini adalah momentum yang diberikan Yang Kuasa untuk melakukan sebuah revitalisasi bagi Jogja dan isinya.
Saat gempa terjadi (27/5), saya kebetulan sedang ada di Parangtritis. Jujur, apa yang sedang saya pikirkan pada saat goncangan hebat itu terjadi adalah "Betapa menyedihkannya ditemukan dalam keadaan tewas saat sedang melakukan hal yang kurang bermakna". Boleh percaya boleh tidak, karena pikiran itu yang justru ada pertama kali, saya sampai tidak tahu harus berbuat apa selama beberapa menit.
Beruntung, Yang Kuasa masih memberikan saya kesempatan untuk menikmati keindahan dunia. Karena gempa pula, saya diberi "bonus" oleh kantor untuk tidak segera kembali ke Jakarta, untuk ikut meliput peristiwa nahas tersebut.
Malam pertama pasca gempa, saya berkeliling Jogja. Dari sini saya menemukan wajah lain dari kota yang sangat saya cintai ini. Semua gelap. Malioboro yang biasanya menjadi urat nadi kehidupan sunyi senyap. Semua aktivitas terhenti.Keramaian justru berpusat di rumah sakit dan beberapa hotel yang menjadi tempat penginapan para sukarelawan, pejabat, dan wartawan dari luar kota. Tapi, melihat jauh kedalam, dalam suasana yang agak mencekam dan sunyi ini, ada sebersit keheningan. Keheningan yang menyiratkan kedamaian.
Dari sini saya berpikir, inikah yang sedang diinginkan Jogja? beberapa saat saja beristirahat dari segala beban yang dipanggulnya?
Ibarat bekerja, kadang kita pun butuh waktu untuk citu, melepas semua beban sambil mensyukuri birunya langit dan hijaunya tanaman. Ibarat HP yang digunakan penuh sepanjang hari, batereinya pun harus dicharge lagi. Ibarat perjalanan panjang, kita harus berhenti sejenak untuk menyiapkan langkah selanjutnya.
Perlu menjadi catatan, gempa terjadi di saat tingkat kunjungan masyarakat ke Jogja sangat tinggi. Saat itu sedang long weekend, dan sebuah iklan layanan masyarakat dalam ukuran 1/2 halaman berisi ajakan menyaksikan lava Merapi dipasang di harian nasional. harus diingat juga, Merapi mengamuk, justru setelah BPPTK menurunkan statusnya dari awas menjadi siaga.
Yah..mungkin Jogja lelah..butuh istirahat sebentar...
Mungkin kita memang harus "mbisu" sesaat, mengurangi suara yang menambah kegaduhan Jogja...
mungkin dengan memberi kesempatan Jogja beristirahat sebentar, Jogja akan kembali ramah...
0 comments:
Post a Comment