
Ia yang memasak dan menatanya
di atas piring lonjong,
berdampingan dengan sebakul nasi.
"Ayo makan," katanya
sambil menyodorkan
sebuah piring kosong.
Aku segera mengambil nasi,
lalu menumpanginya
dengan gumpalan hati.
"Enak!" kataku setelah suap pertama.
Ia tersenyum.
Mulutnya sibuk mengunyah,
mulutku terus memamah.
Itu larut malam
dan kami terus makan dalam diam.
"Aku menyesal baru
memasaknya sekarang,"
ucapnya setelah suap terakhir
tak lagi tersisa.
"Aku yang salah.
Menyimpan hati yang beku
terlalu lama."
(Singapore, November 2009)
0 comments:
Post a Comment