About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Tuesday, March 16, 2010

Entrok

beredar 5 April 2010. don't miss it! :D

Entah sejak kapan saya jatuh cinta pada kata itu. Kata itu saya peroleh dari nenek saya, di Magetan sana. Sejak saya masih kanak-kanak hingga sekarang, dia senantiasa mengulang-ulang cerita yang sama tentang entrok. Entrok yang membuatnya bisa seperti ini : punya rumah, punya sawah, bisa menyekolahkan anak sampai jadi sarjana. Entrok yang membuatnya mengerti, segala sesuatu dalam hidup hanya bisa didapatkan dengan keringatnya sendiri. Baginya, entrok adalah penderitaan dan kemiskinan, sekaligus kebanggaan dan kejayaan.

Enam puluh tahun sudah entrok menjadi bagian hidup nenek saya. Bagi anak dan cucunya, entrok mungkin hanya bagian dari petuah dan cerita masa lalu yang membosankan karena saking seringnya diulang. Tapi betapapun bosannya, entrok telah terlanjur menempati ruang ingatan di hati kami. Saya mengingat entrok, sebagaimana saya mengingat nenek saya.

Kini, entrok tidak hanya menjadi ingatan dalam keluarga kami. Melalui rangkaian kata-kata, saya menyusun kepingan-kepingan kisah tentang entrok dalam sebuah novel. Entrok bahkan menempati tempat istimewa dengan menjadi judul dari novel ini. Sejak memulai pengerjaan novel ini pertengahan tahun 2009, saya sudah memilih "Entrok" sebagai judul.

Selain menjadi pangkal dari kisah yang saya tuliskan, saya merasa kata itu unik, eksotik, dan mudah diingat. Memang kata ini terlalu asing dan banyak yang tidak mengetahui artinya. Saya pun sempat melakukan survey kecil-kecilan untuk mengetahui apa yang dipikirkan orang saat mendengar kata entrok. Jawabannya beragam, mulai dari sejenis bebek hingga obat mencret (entrokstop) . Ada juga yang bertanya bagaimana mengucapkan kata entrok. Saya jawab, 'e' nya diucapkan sebagaimana kata 'tempe', bukan 'besar'. Dengan keasingannya, saya dan Gramedia tetap nekat menjadikan 'entrok' sebagai judul. Toh nanti pembaca akan mengetahui artinya dengan membaca sendiri novelnya :)

Figur nenek saya dan entroknya hadir melalui tokoh Marni, seorang perempuan Jawa buta huruf yang masih kuat memegang tradisi leluhur. Melalui tumpeng dan ayam panggang ia temukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tak pernah dia mengenal tuhan yang datang dari negeri nun jauh. Tidak tuhan dari timur, tidak tuhan dari barat. Dengan caranya sendiri ia mempertahankan hidup, menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Adakah yang salah selama dia tidak membunuh, menipu, mencuri, atau merampok?

Generasi kedua dan ketiga dalam keluarga kami menjelma dalam karakter Rahayu, anak perempuan Marni. Ia generasi baru yang dibentuk oleh sekolah dan berbagai kemudahan hidup. Pemeluk agama Tuhan yang taat. Penjunjung akal sehat. Berdiri tegak melawan leluhur, meskipun itu ibu kandungnya sendiri. Adakah yang salah jika Marni dan Rahayu berbeda?

Marni dan Rahayu, dua orang yang terikat darah namun menjadi asing satu sama lain selama bertahun-tahun. Bagi Marni, Rahayu adalah manusia tak punya jiwa. Bagi Rahayu, Marni adalah pendosa. Keduanya hidup dalam pemikiran masing-masing, tak pernah ada titik temu.

Kisah ini berlatar masa Orde Baru, pada periode tahun 70-80-hingga 90an. Saya menunangkan segala ingatan saya tentang masa itu. Sepatu-sepatu lars, sumbangan kampanye dan kewajiban mencoblos partai kuning. Itulah masa dimana banyak sekali dibangun gardu. Kentongan, ronda, warga kampung yang ikut berseragam hijau. Saya masih ingat bagaimana segala sistem keamanan itu membuat kami semua justru merasa tidak aman :(. Disinilah kemudian ada titik temu antara Marni dan Rahayu. Keduanya sama-sama menjadi korban orang-orang yang punya kuasa, sama-sama melawan senjata.

Diantara mereka juga ada Cayadi. Seorang laki-laki berkulit kuning dan bermata sipit. Orang tuanya datang ke negeri ini pada satu masa yang lampau. Dia sendiri hanya mengenal tanah dan udara yang ditempatinya, bukan negeri leluhurnya. Dalam segala kepatuhan warga negara, ingin sesekali ia memenuh harapan ibunya untuk berdoa di rumah dewa. Dia mengendap-endap, bersembunyi dalam malam untuk menemui dewanya. Di hari Minggu ia tetap harus menemui tuhan lain. Tuhan yang tak pernah dirindukannya.

Lalu ada Hasbi. Seorang kiai beristri tiga. Berusaha sepenuh hati untuk hidup di jalan Tuhan. Dipuja banyak orang atas kesalehannya. Apakah yang terlihat benar selalu benar?

Baca kisah lengkapnya dalam novel pertama saya "Entrok" yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. "Entrok" bisa didapatkan mulai 5 April 2010 di seluruh toko buku Gramedia. Don't miss it! :D


*ilustrasi cover oleh Restu Ratnaningtyas

7 comments:

Unknown said...

Siapin edisi khusus buatku ya Ky? Wkwkwkk. Selamat deh, semoga asa, impian dan harapanmu di bidang ini tercapai.
Semoga april membawa keberkahan ya Ky, hidup april! :-)

Wiwik Budi Wasito said...

proficiat!!!

Insyaallah, saya akan dapatkan Entrok.

Selamat ya :)

Jia said...

Aku sudah selesai baca!
Geram dari awal sampai akhir :D

wiwin wirwidya said...

first novel and it's awesome..

yuyuk said...

aku udah beli mbak...tapi masih menunggu untuk dibaca dan sepertinya nanti sore saya mau membacanyaaa:D

Anonymous said...

yu oki, aku orangnya gak suka baca. Tapi, malam pertama dengan entrok sudah habis 85 halaman! Benar-benar terbius kata per kata!

Fina Thorpe-Willett said...

dahsyat! sudah baca cukup 2 hari diantara kesibukan dan ternganga di tahun 80-90an Indonesia masih bgitu. saya di jakarta saat itu rasanya kok buta dan tuli jadinya. terima kasih ya mbak sharingnya :) dan selamat. good start. ditunggu novel berikutnya.