About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Thursday, January 07, 2010

Tombo Ati


Mengenang Gus Dur adalah mengingat separuh usia saya. Saat televisi berulang kali menayangkan gambarnya, saya malah sibuk menyusun kepingan-kepingan cerita yang berserakan dalam sisa ingatan. Bukan tentang Gus Dur, tapi tentang orang-orang di kampung halaman saya, sebuah desa di Magetan sana.

Suara Gus Dur menyanyikan Tombo Ati dalam sebuah tayangan obituari mengingatkan saya pada tembang-tembang pujian yang dinyanyikan seusai adzan. Ada banyak tembang dalam Bahasa Jawa yang isinya tentang pemujaan, doa dan harapan pada Ilahi. Ada juga tembang-tembang yang bersifat ajakan, mengingatkan orang untuk beriman dan beribadah. Tembang-tembang itu terdengar lima kali sehari dari seluruh masjid yang ada di kampung saya. Biasanya dinyanyikan keras-keras, dengan suara yang seringkali fals, bisa sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Saya tak pernah lagi mendengar tembang-tembang seperti itu setelah tinggal di Jogja dan Jakarta. Di dua kota itu tembang-tembang berganti dengan suara orang berdzikir atau melafalkan Quran. Awalnya saya tak tak terlalu memperhatikan. Baru belakangan saya tahu, sebagian orang menganggap tembang-tembang pujian itu tidak dibenarkan dalam agama.

Tahlilan selama tujuh hari yang diadakan untuk melepas kepergian Gus Dur mengingatkan saya pada selametan-selametan yang sering dihadiri Bapak saya. Ada banyak sekali selametan di kampung saya. Untuk selametan orang meninggal saja, ada selametan tujuh harian, empat puluh harian, juga selametan seratus hari, tahun pertama, tahun kedua, juga selametan seribu hari.

Selametan biasanya diadakan malam hari dan hanya dihadiri oleh laki-laki. Mereka duduk bersila di lantai, mengelilingi nasi tumpeng dan ayam panggang. Bersama-sama mereka membaca Yasin dan Tahlil, lalu seorang yang dituakan akan memotong tumpeng sambil membaca doa. Setelah itu para pemuda akan mulai sibuk menuju dapur. Mengambil piring-piring nasi dengan segala lauk pauk, dibagikan pada semua yang datang. Saat acara berakhir, semua yang datang masih akan mendapat snack atau nasi untuk dibawa pulang ke rumah, yang biasa disebut berkat. Saya masih ingat bagaimana saya dan adik saya berebut apem atau roti bolu dari berkat yang dibawa Bapak saya.

Di kampung saya, selametan tidak hanya soal bakti dan doa pada orang yang sudah meninggal. Ini juga soal hubungan antar manusia, bagaimana seseorang akan dianggap 'patut' dan bisa bertindak yang semestinya. Karena itu semua orang akan selalu mengikuti tradisi, menyelenggarakan selametan, agar tidak dianggap tidak peduli pada orang yang sudah mati. Sajian dalam selametan akan dibuat seenak-enaknya untuk menyenangkan orang yang diundang. Sebaliknya, yang diundang akan selalu datang karena takut dianggap tidak tahu diri.

Maka ketika ada beberapa orang yang tetap tak mau ikut selametan karena dilarang keyakinan, seluruh orang di kampung akan menjadikannya bahan omongan. Katanya orang-orang itu tak bisa bersosialisasi, tak tahu diri dan tak mau menghargai tradisi. Suatu hari, saat orang-orang tersebut punya hajatan, misalnya syukuran kikahan atau pernikahan, orang yang diundang membalas tak mau menghadiri.

Melihat gambar Gus Dur yang sedang berkhotbah di masjid, saya teringat khotib sholat Idul Fitri di lapangan depan rumah. Jamaahnya sedikit, hanya dua baris laki-laki dan sebaris perempuan. Sementara di jalan depan lapangan orang berlalu lalang. Yang rumahnya di sekeliling lapangan menonton dari balik jendela. Kebanyakan orang di kampung masih berpuasa, mengikuti apa yang dikatakan Menteri Agama. Orang-orang akan mengingat-ingat siapa saja yang memilih sholat di lapangan. Membicarakan mereka dalam setiap obrolan.

Dulu, waktu zaman belum sebebas ini, tak ada yang berani berbeda seperti ini. Saya masih ingat beberapa orang yang sholat Ied sembunyi-sembunyi di salah satu rumah tetangga. Pintu ditutup rapat, suara dikecilkan nyaris berbisik-bisik. Orang-orang kampung lainnya membicarakan penuh keheranan dan kebencian. Mendengar omongan orang, saya yang saat itu masih SD, malah berpikir kebablasan dengan menganggap orang-orang yang sholat sendiri itu sebagai pengikut aliran yang sesat.

Mendengar ulang kata-kata Gus Dur saat menentang kekerasan pada Ahmadiyah dan pemidanaan Lia Eden, ingatan saya meloncat tinggi, dari masa lalu ke masa kini. Bukan lagi di desa yang namanya tak tercantum dalam peta, melainkan di ibukota yang punya banyak gedung megah. Dua minggu sebelum Gus Dur pergi, muka saya masam saat mengisi kolom agama dalam formulir pendaftaran di sebuah rumah sakit terkemuka.

Ah, Gus, engkau terlalu cepat pergi!

2 comments:

Unknown said...

"Ila ilas tulil firdhau siala..."

minister ndru said...

salam kenal...sama2 sman 1 magetan :-)