About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Saturday, July 25, 2009

Kolam Kertas


Jumat malam, di parkiran sebuah mall. Seperti biasanya, saya menghabiskan waktu agak lama di depan palang besi berwarna oranye itu. Dengan setengah panik, saya memeriksa seluruh kantong lalu mengaduk-aduk ‘kantong’ pintu mobil, tempat saya biasa menaruh segala macam kertas. Mulai dari struk parkir, struk tol, nota pembayaran, hingga brosur-brosur promosi yang sering dibagikan orang di sepanjang jalan.

Kertas kecil yang bertuliskan nomor kendaraan dan jam mulai menyewa lahan parkir itu memang begitu menyebalkan bagi orang-orang yang ceroboh seperti saya. Beberapa kali saya kehilangan kertas kecil itu, enyah karena nyelip atau memang terjatuh. Akibatnya saya harus berurusan dengan birokrasi perpakiran. Mulai dari menyerahkan foto copy STNK, tanda tangan di berkas yang mereka siapkan, lalu membayar denda.

Saya sering berpikir, kenapa pengelola parkir begitu senang membuat penyewa kerepotan dengan selembar kertas kecil itu. Padahal, hampir semua tempat parkir di gedung dan tempat umum di Jakarta telah menggunakan sistem komputer. Dengan sistem itu, petugas akan memasukkan nomor kendaraan ke komputer sekaligus jam berapa kendaraan masuk. Ketika keluar, penyewa lahan cukup menunjukkan STNK dan petugas parkir tinggal mencocokkannya dengan data di komputer. Mana yang lebih bernilai : selembar kertas kecil atau STNK kendaraan yang merupakan dokumen resmi?

Tidak pernahkah pengelola parkir berpikir dengan meniadakan struk parkir, berarti mereka mengurangi penggunaan kertas dan tinta. Itu juga berarti mereka mengurangi biaya produksi dan menambah keuntungan. Lagipula, sebagai konsumen, saya dan mungkin juga pengguna parkir lainnya tidak pernah peduli dengan selembar kertas itu. Kertas itu lagi-lagi akan ditumpuk begitu saja lalu dibuang.

Begitu juga dengan kertas-kertas kecil yang saya terima setiap akan lewat jalan tol. Karena merasa tidak butuh, kertas itu langsung saya lemparkan ke tong sampah yang disediakan tepat di sebelah loket tol. Mekanisme kerja di loket jalan tol yang serba cepat, membuat seorang pengguna tidak akan sempat berkata, “Struk nya tidak usah dicetak.” Sebaliknya, standar kerja jalan tol tidak membiasakan setiap pegawai di loket untuk bertanya, “Struknya perlu dicetak tidak?” Kalau begitu, kenapa tidak aturan mainnya yang diubah. Petugas tidak akan mencetak struk kecuali diminta.

Bank telah menetapkan kebijakan seperti ini dalam setiap transaksi di anjungan tunai mandiri. Mesin ATM akan mengeluarkan pertanyaan apakah struk transaksi harus dicetak atau tidak.

Aturan main yang sama juga perlu diterapkan pada setiap tempat perbelanjaan. Setiap belanja kebutuhan rutin di super market, saya biasa menerima struk yang begitu panjang. Alih-alih saya akan membaca ulang setiap item belanja dan harganya, struk itu biasanya langsung saya masukkan di tempat sampah yang ada di sebelah kasir. Beberapa kali kasir super market memergoki saya melakukan itu. Saya menangkap ada rasa tak terlalu senang. Mungkin karena saya sudah memenuhi tempat sampah saya dengan kertas yang sudah susah payah ia cetak.

Pandangan agak tak biasa juga sering saya terima waktu saya menolak diberi kantong plastik. Padahal, apa yang aneh jika saya memilih langsung memasukkan satu alas bedak yang saya beli ke dalam tas atau langsung meminum susu kotak yang saya beli. Kasir supermarket juga sering melihat aneh pada saya saat memintanya memasukkan pembalut dan roti tawar atau kecap dan sabun mandi cair dalam satu kantong saja. Padahal, sungguh, saya hanya tidak ingin rumah saya penuh dengan kantong plastik tak terpakai lalu saya mesti kerepotan membuangnya ke tempat sampah.

Ya, saya sedang tidak berbicara tentang rasa cinta saya pada alam. Saya juga tidak tahu seberapa besar efek penghematan penggunaan kertas dan kantong plastik itu untuk mencegah kerusakan lingkungan. Saya hanya sedang berpikir dan bertindak untuk kenyamanan diri saya sendiri. Agar saya tidak tenggalam di antara kertas dan plastik-plastik yang tidak perlu itu.


0 comments: