About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Tuesday, January 06, 2009

Sebuah Proses

Setelah berhasil merumuskan satu alasan kenapa saya memutuskan menikah, sekarang saya berhadapan dengan satu pertanyaan : bagaimana rasanya setelah menikah?

"Rasa?"

"Iya, rasa,"

"Seperti enak dan tidak enak?"

"Ya, seperti itu."

"Hmm..enak atau tidak enak ya?"
Hingga sekarang - tiga minggu menikah - saya masih belum merasakan menikah adalah sesuatu yang enak atau tidak enak. Tentu saja saya sedang memisahkan pernikahan dari aktivitas seksual, yang harus diakui sebagai sesuatu yang nikmat.
Jika memang pertanyaan enak dan tidak enak ditujukan untuk mengetahui rasanya berhubungan seksual, saya akan dengan mudah menjawab : pokoke nikmat lah!

Masalahnya, pertanyaan yang ditujukan memang selalu 'bagaimana rasanya menikah', bukan 'bagaimana rasanya berhubungan seksual'. Dan karena bagi saya menikah tidak hanya sebatas berhubungan seksual, pertanyaan 'bagaimana rasanya menikah' saya lihat sebagai pertanyaan yang tidak bisa saya jawab dengan satu kata : nikmat.

Jika bisa bersama dengan laki-laki yang dicintai sepanjang hari merupakan hal yang enak, kenapa ada pasangan yang memutuskan hidup sendiri-sendiri setelah melewati sepuluh tahun kebersamaan?

Kalau menikah itu merupakan sebuah penjara baru yang menciptakan keterbatasan dalam berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan, kenapa banyak orang yang bisa menemukan kebahagiaan didalamnya?

Enak atau tidak enaknya pernikahan, seperti sebuah perjalanan backpacker keliling dunia atau mendaki gunung. Tak pernah bisa saya menjelaskannya dengan enak atau tidak enak. Mungkin enak ketika saya merasakan kebanggaan melihat tempat yang baru dan mengabadikannya. Tapi juga tidak enak ketika saya menguras seluruh tenaga, berjalan terseok-seok, dan kadang juga terluka.

Sebelum memulai perjalanan dan kemudian pernikahan, saya tidak pernah berpikir apakah ini akan menjadi enak atau tidak enak. Dan nyatanya, setelah menikah, saya tetap masih belum bisa memilih mana yang enak dan mana yang tidak enak, apakah menikah enak atau tidak enak.

Bagi saya, ini hanyalah suatu proses yang saya pilih untuk menjalaninya. Enaknya enak dan tidak enaknya tidak enak, sekaligus saya telah memilihnya.


*) Ini ada satu artikel yang dimuat di rubrik pernikahan Jurnas - sebuah rubrik yang mengangkat kisah pasangan yang menuju pelaminan. Selain ingin memberi inspirasi juga ingin menggaet iklan dari vendor pernikahan gitu. Saya menerima tawaran untuk menulis. bukan untuk narsis, hanya ingin menjadikan penanda bahwa proses itu selalu ada :)

Mencari Jawaban, dari Uluwatu hingga Andaman

Tidak mudah menyusun kata-kata yang tepat untuk menjawab satu pertanyaan, “Apa yang membuatmu yakin untuk menikah?” Dan semakin sering pertanyaan itu diajukan, bukannya saya makin pandai untuk menjawab tapi justru makin lihai untuk berkelit.

Saya dan Abdul Khalik bertemu di Bali, Januari 2008, saat sama-sama meliput Konferensi Tingkat Tinggi Anti Korupsi. Saya (24), wartawan Jurnal Nasional, orang Jawa yang baru dua tahun tinggal di Jakarta. Abdul (30), wartawan The Jakarta Post, orang Makassar yang lahir dan besar di Jakarta.

Sepuluh hari di Bali, kedekatan terjalin melalui aktivitas sehari-hari. Bertemu tanpa direncana di ruang konferensi, membuat berita di press room, dan obrolan-obrolan mulai dari perilaku orang Bali yang kurang menghargai wisatawan lokal, kematian mantan Presiden Soeharto, hingga kekalahan diplomasi Indonesia dalam KTT.

Yang istimewa dari pertemuan Bali adalah keputusan kami untuk melakukan perjalanan bersama dari ujung selatan Pulau Bali sampai ujung utara. Memulai dari Uluwatu kami menyusuri jalanan hingga Pantai Lovina.

Saya yang tergila-gila pada perjalanan dan fotografi memberi warna baru pada Abdul yang tergila-gila dengan pekerjaan dan tidak pernah mengambil cuti lebih dari dua hari sepanjang kariernya.

Awal Maret 2008, saat Jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap tangan menerima suap dari Artalyta Suryani, kami sedang berjalan-jalan di Raffless Place, Singapura. Itu adalah hari pertama dalam perjalanan kami keliling tiga negara di Asia Tenggara.

Bukan sebuah perjalanan yang romantis dan selalu berjalan manis. Sebagaimana perjalanan backpacker yang sering saya lakukan seorang diri atau bersama teman, ini adalah perjalanan ngirit yang penuh rintangan, melelahkan, memancing emosi, tapi sekaligus menyenangkan.

Kami tiba di Malaysia empat hari sebelum pemilihan umum dimana Nurul Izzah, putri Anwar Ibrahim, berhasil terpilih sebagai anggota parlemen. Kuala Lumpur saat itu penuh dengan bendera partai politik dan spanduk bergambar calon anggota parlemen. Abdul –penggila kerja yang baru belajar menggilai perjalanan – menunjukkan karakter aslinya di kota ini.

Di tengah kesibukan saya memilih Vincci di Menara Petronas, Abdul sibuk mencari koran-koran Malaysia mulai dari The Star sampai Utusan Malaysia. Bukan sekedar untuk dibaca, dia sedang mencari referensi untuk mengirim berita ke kantornya tentang pemilu Malaysia. “Sekalian, mumpung ada disini,” katanya.

Untung suasana backpacker kami tidak terlalu lama terganggu oleh keruwetan kerja seorang wartawan. Sesuai tiket pesawat yang sudah saya pesan melalui internet, kami harus meninggalkan Kuala Lumpur menuju Phuket dua hari sebelum pemilu Malaysia berlangsung.

Di Phuket – tempat yang kami datangi karena keindahan pantainya– justru kami hanya sempat menikmati segarnya air laut di hari pertama. Sisanya, kami hanya bisa duduk di pasir, memandang turis-turis berkulit putih berenang dan menyelam, sambil meringis menahan perih di kaki dan tangan.

Ya, kami kecelakaan di jalan antara Pantai Kata dan Pantai Patong. Motor Mio yang kami sewa bertabrakan dengan motor gede yang dikendarai turis dari Amerika. Saya yang terluka agak parah dalam kecelakaan itu. Pergelangan kaki saya tergores apal dan terkuak cukup dalam. Di sebuah klinik, seorang petugas membersihkan luka dengan alkohol dan menutup dengan perban.

Saat itulah emosi kami benar-benar diuji. Bagaimana sebuah perjalanan yang awalnya penuh harapan tentang keceriaan justru diwarnai dengan tangis menahan sakit. Saya yang melankolis dan mudah terbawa suasana berhadapan dengan karakter Abdul yang rasional dan tegas menetapkan prioritas.

Di hari keempat, kami berlayar dari Phuket ke Phi-Phi Island dan Maya Bay. Ada rasa nelangsa ketika saya hanya bisa memandang orang-orang berenang, snorkeling, bermain kanoe, di ‘surga’ yang diperkenalkan Leonardo DiCaprio dalam film The Beach.

Di tengah perasaan kecewa itulah, Abdul menyampaikan ajakan menikah. Tentu saja saya tak langsung menjawab. Di atas kapal yang melintasi perairan Andaman, saya mencari jawaban atas ajakan itu. Saya tidak tahu apa dan bagaimana saya bisa menjawab ‘ya’ saat itu.

Dari ‘kesepakatan Perairan Andaman’ kami mulai merencakan persiapan pernikahan. Awalnya kami berencana menikah pada pertengahan tahun 2009. Namun karena beberapa pertimbangan, termasuk saran dari orang tua yang percaya bulan baik untuk menikah adalah Bulan Besar (Dzulhijah), kami putuskan menikah di bulan Desember.

Akad nikah dilaksanakan 13 Desember 2008 lalu dilanjutkan resepsi keesokan harinya di kediaman orang tua saya, di Magetan. Acara di Magetan dilaksanakan dalam ritual Jawa. Mulai dari siraman, acara temu manten dengan segala prosesinya, dan diakhiri dengan pergelaran wayang kulit pada 14 Desember malam.

Seminggu kemudian, kami menyelenggarakan pesta di Jakarta dengan format outdoor wedding. Ini pesta yang kami rancang khusus untuk teman-teman dan kolega. Kami memilih konsep nasional dengan sentuhan Makassar di makanan dan sarung yang dikenakan keluarga dan orang tua.

Persiapan pernikahan – layaknya perjalanan backpacker yang kami lakukan – bukanlah hari-hari yang selalu menyenangkan. Ketegangan, emosi yang naik turun, masalah dari hal-hal kecil yang tak terduga, menjadi tantangan yang harus kami taklukan.

Kadang kami menertawakan kekonyolan masing-masing. Ada kala kami lupa diri dan nyaris putus asa. Kami sadar itu semua adalah bagian perjuangan untuk mencapai titik tujuan. Bisa jadi ini adalah ujian sebelum kami naik ke tingkatan hidup selanjutnya.

Sampai disini saya mulai bisa merumuskan satu jawaban, kenapa saya memutuskan untuk menikah. Untuk sebuah peningkatan kualitas hidup. Yang terlihat maupun yang hanya bisa dirasakan, yang terukur atau yang tak pernah bisa terhitung.

2 comments:

Anonymous said...

seperti biasa, tulisanmu sangat inspiratif, apalagi yang judulnya "Mencari Jawaban; Dari Uluwatu sampai Andaman".
aku merasakan hal yang sama Ky. Ternyata menikah memang tidak untuk didiskusikan teramat ribet sampai ada orang yang takut untuk masuk ke dalamnya. Menikah itu emmang untuk dijalani, dinikmati dan untuk dipelajari:)
Selamat untuk kalian beruda yah:)

Anonymous said...

Wooo...pantes tulisan traveling-mu ttg Maya Bay di Kompas malah ngomongin tsunami. Lha abis kecelakaan gitu...hehehe.

Btw Ky, kayaknya mending pindah mesin ke wordpress aja deh. Blogspot ini ribet banget utk ninggalin komen :(

Mya