Ingatan paling awal saya tentang pemilu adalah ketika saya menemani ibu saya dalam sebuah pertemuan RT. Saya masih bisa menggambarkan baju yang dipakai ibu saya waktu itu. Rok span dengan atasan blouse dilapisi jaket warna abu-abu yang panjangnya dibawah pinggul. Seingat saya malam itu memang dingin. Kami berdua berjalan kaki menyeberangi lapangan sepak bola yang memisahkan rumah saya dengan tempat pertemuan.
Saya juga masih ingat saat itu kami duduk bersandar pada cagak. Ruangan sudah banyak orang. Suasananya mirip arisan yang biasanya diadakan tiap tanggal 15 setiap bulan. Tapi ini bukan arisan. Tidak ada uang, dan tidak ada kertas yang digulung kecil-kecil lalu dikopyok.
Seorang pria-katanya petugas dari kecamatan - berbicara di tengah-tengah ruangan. Dia memamerkan selembar kertas. Pria itu memberi tahu bagaimana cara membuka, menyoblos, dan melipat. Ada banyak gambar pohon beringin yang ditunjukkan pria itu.
Kata ibu saya malam itu adalah pengarahan untuk pemilu. Semuanya terekam begitu saja. Tanpa ada kesan apa-apa. Belakangan, setelah mencocokan penanggalan pemilu dan setting ingatan, saya tahu pertemuan itu dilakukan menjelang Pemilu tahun 1992. Saya masih kelas dua SD waktu itu.
Potongan puzzle ingatan saya berikutnya tentang Pemilu nyangkut di pohon mangga yang tertanam di halaman sebelah rumah. Waktu itu saya bersama dua orang teman sedang duduk di cabang-cabang pohon. Lalu satu truk lewat di depan kami. Isinya orang-orang berkaos merah yang mengacungkan kelingking, telunjuk, dan ibu jari.
Kami bertiga hanya diam. Tidak berani ikut bersorak atau mengacungkan tiga jari. Lalu salah seorang teman saya berkata, "Kita semua Golkar. Yang bukan Golkar harus pindah desa."
Ingatan saya beralih ke ruang tamu. Saya bersama ayah dan ibu. Entah kapan waktu persisnya dan apa yang kami obrolkan waktu itu. Yang masih saya ingat adalah cerita ayah tentang teman kantornya yang dipindah ke Irian karena dekat dengan orang-orang PPP.
Lalu saya hanya ingat panggung besar, penyanyi dangdut, dan orang-orang berkaos kuning yang berjoget memenuhi lapangan di halaman rumah saya. Bercampur dengan sedikit ingatan tentang muka Harmoko yang sedang ngomong panjang lebar di TVRI.
Ingatan saya lalu meloncat ke waktu yang lebih dekat, saat guru SMP membatalkan latihan drumband. Saat itu saya mulai banyak mengerti. Kami sekeluarga menonton Pak Harto mengatakan 'Ora dadi presiden ra patheken' saat memanggil tokoh-tokoh masyarakat ke istana.
Saya juga ingat bagaimana ibu saya begitu mengagumi Sjafrie Sjamsuddin saat itu. Saya masih bisa membayangkan gambar televisi yang menayangkan sorakan mahasiswa dan muka bahagia Amien Rais saat Soeharto turun.
Setelah masa itu, terlalu banyak hal yang masih saya ingat. Gambar visualnya berjejalan, informasi berdengungan. Sebagaimana gambar-gambar partai dan calon yang menjajah mata saya di sepanjang jalan.
Terlalu banyak. Tak terpilah. Juga tak terpilih.
Tuesday, January 20, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
salam kenal ya mbak
ingatan yang pendek tapi sangat jelas sekali bahwa memang di masa orba pada masa-masa pemilu suasana jalanan sangatlah menakutkan kalau sudah menjelang malam. Saya begitu ingat waktu kelas 3 SMP saat ikut kampanye pemilu terakhir masa orba (saya ikut kampanye PPP). Begitu menjelang maghrib konvoi motor harus dihentikan dan di tempat itu juga semua kostum harus dilepas dan diganti baju biasa. Kalau tidak mau, bisa dibayangkan ada teman di depan saya yg dipukul pake tongkat oleh polisi.
Post a Comment