1 April 2008
Pizza Hut Jakarta Theatre tak menyisakan meja kosong. Empat orang duduk di kursi antrean menunggu ada orang yang meninggalkan mejanya. Saya langsung menuju ke area merokok - mencari sosok yang telah menanti saya.
Memakai kemeja formal, rambut tergerai, lengkap dengan sepatu bertumit 5 centimeter, ia tampil cantik dan elegan malam ini. Saya serahkan bungkusan berisi dua kenang-kenangan dari Phuket yang sudah dua minggu lebih tersimpan di laci almari. Dan seperti yang saya duga, pertemuan ini akan diawali dengan berbagai cerita pencarian saya di tiga negara.
"Oke, cukup cerita tentang perjalanan. Sekarang ceritakan tentang kabarmu," persahabatan yang telah lama terjalin membuat saya cukup paham dia tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.
"Memang sedang ada masalah. Aku nggak nyangka, masalah yang itu muncul lagi."
Bibirnya mulai lincah bergerak. Diiringi sorot mata yang mengekspresikan berbagai rasa : kecewa, sedih, berharap, dan ketulusan cinta. Suara yang timbul tenggelam di tengah hiruk pikuk pengunjung lain tak mengurangi konsentrasi saya mendengarkan ceritanya penuh perhatian.
"Ibunya keberatan kami menikah, tapi bukankah sejak dulu dia sudah tahu tentang latar belakang ku?" ujarnya.
Saya diam menyimpan kegeraman sambil menatapnya lekat-lekat. Adakah yang salah jika kebetulan ia terlahir dari keluarga yang percaya ada nabi lain setelah Muhammad?
31 Desember 2006
Kami tiba saat masjid sudah penuh jamaat. Inilah sholat Ied pertama yang saya lakukan di Jakarta. Idul Adha kali ini saya memilih menginap di tempat sahabat, merayakan Idul Adha bersama keluarganya, sekaligus merayakan pergantian tahun 2006-2007.
Usai sholat dua rakaat, khotbah dimulai. "Marilah kita berdoa untuk saudara-saudara kita di Mataram dan berbagai daerah di lain yang masih belum bisa menjalankan ibadah," kata khotib memulai isi khotbah.
Saya mulai menyadari dimana saya berada. Inilah pertama kali saya sadar latar belakang keyakinan sahabat saya. Kami pun berdiskusi banyak. Tentang segala perbedaan, tentang stigma masyarakat, tentang pemikirannya dan lingkunganya.
"Tapi Ky, emang aku belum pernah cerita ya dari dulu?"
Saya menggeleng. Ia memang belum pernah bercerita. Tapi apakah keimanan menjadi hal yang penting untuk kami bicarakan?
16 April 2008
Sebuah SMS masuk ke handphone saya. Isinya undangan dari Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan untuk membahas keputusan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat yang melarang Ahmadiyah.
"Ber-Tuhan saja dilarang apalagi tidak ber-Tuhan," tulis seorang teman wartawan di status kotak maya nya.
"Justru lebih enak tidak ber-Tuhan karena tidak ada yang nglarang-nglarang," kata kekasih saya lewat telepon sebelum kami mengakhiri hari.
18 April 2008
pukul 10.30
Ia menyapa saya melalui kotak maya. "Ibunya masih menganggap kami berbeda dan melihat kami tidak seharusnya menikah."
"Meskipun kamu sudah berkomitmen nantinya akan mengikuti suami?"
"Ya, bahkan Ayah ku sudah mengizinkan. Tidak ada masalah, yang penting tetap Islam."
pukul 18.30
Kami bertemu di Taman Ismail Marzuki. Matanya menyimpan sejuta tanya dan kecewa.
"Sepertinya Ibunya takut, suatu saat setelah menikah aku akan mempengaruhi anaknya. Konyol kan? Kami telah 3 tahun berhubungan dan sejak awal mereka tahu semuanya."
Matanya makin merah. Buliran air mata mulai mengalir.
Maaf sayang, aku tidak bisa melakukan apa-apa untukmu.
Thursday, April 17, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
ugh, sedih banget mbacanya :(
Membaca tulisan ini, aya seperti berkaca...
Ini lebih gila dari yang saya alami...
Saya pun terancam tak bisa menikah... kami berbeda agama...
Membaca tulisan ini, kembali mengingatkan saya... betapa keyakinan yang seharusnya paling asasi justru menjadi pasung yang paling erat bagi manusia...
Keyakinan hampir seperti suku... yang sudah menempel sejak lahir dan tak bisa disangkal...
Saya ingat, di buku yang pernah saya baca... Kadang, bahkan sering, agama lah yang menjadi penghambat kedamaian di dunia...
saya tidak ingin percaya itu... tapi banyak realitas yang menggiring ke situ...
Post a Comment