Kami mengenang Herman Willem Daendels. Gubernur Jenderal Hinda Belanda inilah yang punya gagasan spektakuler sekaligus setengah sinting untuk membangun jalan raya di sepanjang pantai utara Jawa, mulai Anyer sampai Panarukan. Daendels mempekerjakan orang Indonesia dengan paksa, mencambuk saat dirasa bekerja terlalu lambat, membunuh jika ada yang hendak melarikan diri. Tercatat sedikitnya dua belas ribu nyawa melayang dalam proyek seribu kilometer ini.
Kami mengenangnya saat kami tengah menikmati peninggalan kekejamannya. Bukan sebagai ucapan terima kasih untuk Daendels tapi untuk orang-orang pribumi yang menyerahkan tenaga dan nyawa di sepanjang jalan ini.
Melalui Jalan Raya Pos, kami meninggalkan Jakarta menuju Magetan. Ada dua pilihan, menyusuri Jalan Pos sampai Semarang lalu berbelok ke selatan menuju Solo - Magetan atau meninggalkan jejak Daendels di Brebes-Tegal untuk berbelok ke arah Purwokerto lalu Jogja-Magetan. Kami memilih rute kedua.
Meninggalkan Jalan Daendels, kami juga menhentikan pembicaraan dengan setting tahun 1808-masa-masa pembangunan Jalan Raya Pos. Ibarat sebuah film dengan alur kilas balik, kini kami kembali ke setting masa kini. Tahun 2008, sepuluh tahun pasca reformasi 1998 dan setahun menjelang Pemilu 2009.
Di masa sekarang, kami dengan mudah mengenali tanda satu daerah. Kami cepat tahu apakah kami masih ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, atau sudah meninggalkan Jalan Raya Pos. Baliho besar bergambarkan Bibit Waluyo dan Rustriningsih atau Sukawi dan Sudharto menandakan kami sudah masuk wilayah Jawa Tengah. Spanduk terbentang di tempat-tempat strategis mengingatkan masyarakat Jawa Tengah untuk tidak lupa datang ke tempat pencoblosan 22 Juni nanti.
Sebenarnya ada lima pasangan calon Gubernur Jawa Tengah yang menjadi peserta Pilkada. Gambar mereka juga terpampang di sepanjang jalan. Tapi memang pasangan Bibit-Rustri dan Sukawi-Sudharto yang menarik perhatian kami dan menjadi subyek utama dalam satu sequel pembicaraan dengan setting masa kini. Mungkin karena dua pasangan calon itu yang namanya cukup kami kenal dan sering menjadi pembicaraan di tingkat nasional. Bibit adalam mantan Pangkostrad dan Rustri adalah Bupati Kebumen sekaligus Bupati perempuan pertama di Indonesia. Sementara Sukawi adalah Walikota Semarang yang beberapa kali dilaporkan KPK karena diduga tersangkut korupsi. Kini Sukawi sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi APBD.
Memasuki Kulon Progo, tidak ada lagi umbul-umbul dan berbagai penanda Pilkada. Kami telah memasuki wilayah Yogyakarta. Pembicaraan beralih ke tanah-tanah Sultan di seluruh penjuru Yogyakarta.
"UGM itu kan dibangun di atas tanah Sultan. Jadi sekritis-kritisnya akademisi UGM, tidak akan ada yang berani mengkritik Sultan. Mana pernah ada ide pemisahan jabatan Gubernur dan Sultan dari dosen UGM. Sekarang aja setelah Sultan Hamengkubuwono X jelas-jelas tidak mau lagi jadi Gubernur tetap aja wacana yang berkembang adalah Gubernur tetap dijabat Sultan," kata saya saat kami makan kepiting di seberang Grha sabha Pramana.
Kekasih saya lulusan Universitas Indonesia yang seumur hidup baru satu kali pergi ke Jogja untuk suatu tugas peliputan. Ini adalah kunjungan keduanya. "Terlalu macet dan terlalu ramai dimana-mana. Gua ngga dapet atmosfer Jogja," ujarnya di sela-sela kesibukan saya memilah-milah batik koleksi Mirota Batik.
Kami memasuki wilayah Ngawi hampir tengah malam. Umbul-umbul perayaan pesta rakyat kembali tampak dimana-mana. Ada gambar menteri perempuan era Gus Dur, Khofifah Indar Parawansa berpasangan dengan Mujiono, mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Syaefullah Yusuf yang menjadi Calon Wakil Gubernur, anggota DPR dari PDIP Sutjipto, dan Achmady yang maju dengan restu dari Gus Dur.
Di Magetan, gambar calon gubernur bersaing dengan calon bupati. Magetan akan menggelar pesta rakyat bulan Juli nanti. Khusus untuk Pilkada Magetan, saya pernah menuliskannya dalam "Mama dan Koruptor"."Orang NU lagi rebutan jadi Gubernur Jawa Timur," kata saya saat kami berkumpul di meja makan bersama Papa dan Mama.
"Iya, apalagi setelah PKB ada dua kubu, masing-masing kubu punya calon," kata Papa. Khofifah adalah calon dari PKB kubu Muhaimin sementara Achmady dari kubu Gus Dur.
"Wah, kalau suara NU pecah bisa-bisa PDIP yang dapet untung," kata kekasih saya.
Pembicaraan tentang NU, Pilkada, bupati Magetan, dan goresan mobil saat lewat Jalan Daendels berakhir saat kami berkumpul di ruang tamu. Kami membahas tentang kehidupan yang lebih sempit. Tentang saya dan dia. Tentang sebuah cerita dengan setting masa depan. Skenario permainan yang akan dimulai bulan Desember.
Jakarta-Magetan, 30 April-4 Mei 2008
Friday, May 09, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
6 comments:
tulisannya menarik, memadukan banyak hal :)
salam
taufan
widih,,,,
jadi Desember nih ki...
ajak bojomu nongkrong di ujung malioboro sekitar jam 5 sore sampe jam 7. nek dek ne masing muni: gue blm dapat atmosfer jogja, yo berarti jogja ncen wes berubah drastis.
dan itu tak perlu ditangisi. biasa saja.
[btw, ada lintasan masa lalu yg sudah ditindih lintasan yg baru dong, ya? hehehehe]
:p
wah ini cerita pas kemaren pulang ke magetan ya Ky?!?!?!
Kenalin dwong ma calonnya,hehehe
kalo aku sih milih kofifah
kakak kelas sih...hehehehe
btw,, mba okky mo nikah yaaa??
jangan lupa undangannya dikirim ke rumah ya!
n_n
Tentu saja.
Kita tidak akan bisa menemukan atmosfer Jogja dalam macet, ketika belanja batik Jogja, dalam waktu jumpa yang selintas dan diburu waktu.
Apalagi Jogja sudah berubah, sementara pikiran kita tentangnya tidak.
Post a Comment