About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Tuesday, October 23, 2007

Desaku Garang













LAPANGAN sepak bola itu sangat gersang. Rumput-rumput yang tersisa semuanya berwarna coklat. Kering.

Angin yang berhembus cukup kencang sepanjang hari mengangkat semua debu lalu meniupkannya ke setiap rumah di sekeliling lapangan.

Tak jarang angin berbentuk pusaran yang tidak hanya membawa debu, tapi juga sampah. Kalau sudah melihat angin seperti ini, semua orang akan terburu-buru menutup pintu dan jendela rumah. Yang tengah berada di jalan atau di lapangan akan mencari benda untuk menutupi rambut dan wajah.

Sinar matahari terasa menyengat sejak pagi hingga sore hari. Pantulannya menyilaukan mata, dan sering membuat sakit kepala dan tak enak badan. Situasi yang membingungkan. Orang akan cepat terasa lelah saat bekerja dalam keadaan seperti ini. Tapi untuk tidur dan istirahat di dalam rumah rasanya juga tak nyaman.

Petani-petani yang biasa berlalu lalang di depan rumah kami juga berkurang.

Entah karena tidak tahan terhadap sengatan matahari atau karena malu untuk ke sawah di saat semua orang terhanyut dalam suasana Lebaran.

Mungkin juga merasa tak Pe-De saat banyak orang-orang dari luar kota mulai datang ke desa dengan mobil-mobil mewah. Padahal, orang-orang ini dulunya adalah bocah-bocah desa yang bermain tanpa alas kaki dan sering mencuri hasil sawah.

Yang jelas, memang tak ada panen apapun saat aku pulang kali ini. Padi sudah dipanen beberapa bulan sebelumnya, demikian juga tebu, dan jeruk pamelo kebanggaan kami. Mangga juga baru muncul malu-malu. Harapanku untuk membawa satu kardus mangga gadung dari halaman dan kebun belakang ke Jakarta pupus.

Bagi kami yang telah tingal di tempat ini selama puluhan tahun, sangatlah paham udara yang sangat panas ini bukanlah bagian dari kampung halaman kami. Kami tumbuh dalam udara yang segar, bersih, dan cenderung dingin.

Desa kami, Desa Sukomoro, masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Magetan, Jawa Timur, ada di kaki Gunung Lawu. Hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai di lerengnya yang penuh hutan pinus dan cemara. Di lereng itu juga terdapat objek wisata yang cukup terkenal, Telaga Sarangan.

Ke Sarangan lah kami sekeluarga mencari hawa dingin. Berhasil memang. Udara Sarangan masih dingin. Hanya air telaga saja yang menyusut drastis. Sangat berbeda dengan kunjungan terakhirku di bulan Juni lalu.

Yah, semuanya memang kering.

"Ini pasti gara-gara Gunung Kelud," ujar adikku saat kami membicarakan tentang panas yang luar biasa di desa dan kota kami.

Gunung Kelud yang berada di Kabupaten Kediri, sebenarnya tidak terlalu dekat dengan tempat kami. Setidaknya, harus melewati dua wilayah - Kota Madya Madiun dan Kabupaten Madiun - untuk sampai di Kabupaten Kediri.

Apakah benar panas di Desa dan Kota kami akibat aktivitas di gunung tersebut?

Bisa jadi. Karena dugaan yang sama dilontarkan teman-temanku dari Sidoarjo, Ngawi, bahkan Malang, yang semua mengeluh kepanasan.

Aku hanya sedikit ingin menambah hipotesa itu. Bagaimana seandainya hujan sudah turun sejak September?

Mungkin panas matahari bisa sedikit berkurang, rumput di lapangan bisa tumbuh subur menghijau, menghalangi debu-debu yang diangkat angin. Air di Telaga Sarangan pasti juga tak sesurutt itu di saat banyak wisatawan mengunjunginya bersamaan libur Lebaran.

Tapi hujan memang tak turun sejak September. Bahkan hingga hari ini, hari ke dua puluh empat di bulan Oktober. Bukankah dalam pelajaran sejak SD kita selalu diajari musim hujan di Indonesia di mulai bulan September?

Hmm..sampai di sini pasti sudah banyak yang tahu alasan selanjutnya. Apalagi saat seperti ini ketika Al Gore hendak dianugerahi Nobel dan kampanye Climate Change dilakukan besar-besaran.

Aku menulis ini bukan hendak ikut-ikutan gaya kampanye Leonardo D'Caprio atau himbauan funky ala Nirina Zubir. Bukan juga karena kecewa gagal terpilih sebagai salah satu peserta konferensi di India. Aku telah jauh-jauh hari menulisnya di blog ini dalam "Gore dan Marco".

Hanya ungkapan kesedihan karena Desa ku telah menjadi garang. Semoga kau segera kembali ramah, seperti sedia kala.



*) Magetan, 11 Oktober - 19 Oktober 2007

3 comments:

Anonymous said...

sama mbakyu, desaku jg lg kekeringan, sumur, sungai dan kolam semua kering :(

Anonymous said...

Aku daha lama ga ke Magetan. Ingat masa kecil di sana, sewaktu mengunjungi saudara di sana. Hawanya sejuk dan airnya bersih. Apa masi ada kuda di Sarangan? Aku dulu pernah mengelilingi kuda sambil mengitari Sarangan. Waktu itu, Sarangan masi indah:)

Okky Madasari said...

sebenare magetan masih tetap indah. Apalagi Sarangan. Masih ada kuda, speed boat, perahu bebek dll. Hawa dan pemandangannya oke banget. Cuma, pas terakhir pulang kmrn magetan lagi panas banget, air di telaga menyusut. Ini sangat berbeda dengan kunjunganku pas bulan Juni. Aku rasa karena perubahan iklim yang menyebabkan kemarau terlalu panjang & hujan tak turun pada waktu nya.