About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Thursday, September 27, 2007

Work Smart, Traveling Hard

Perjalanan adalah sekolah yang paling kaya ilmu. Apalagi jika perjalanan itu dilakukan seorang diri ke daerah yang masih asing.

Itulah alasan kenapa saya selalu ingin melakukannya berulang kali.

Dan hari itu saya menjelajah Singapura seorang diri.

Memisahkan diri dari rombongan wartawan setelah meliput pembajakan kapal di Selat Malaka, untuk menyeberang ke Singapura melalui dermaga ferry Batam Center.

Sejak awal, saya yakinkan diri bahwa saya bukan wisatawan melainkan penjelajah atau dengan nama keren backpacker. Sebuah label yang merujuk pengertian sebuah perjalanan dengan anggaran dan waktu serba terbatas. Saya hanya membawa ransel berisi 2 helai baju dan kamera, serta tas slempang kecil untuk hand phone, dompet, dan passpor.

Sejak kecopetan di atas kereta api ekonomi saat hendak ke Baduy beberapa waktu lalu, saya memilih menyimpan benda-benda seperti ini di tas slempang kecil.

Selain mudah untuk mengambil dan mengeluarkan, tas seperti ini lebih mudah untuk diamankan, yakni dengan meletakkanya di bagian depan tubuh.

Saya hanya membeli 200 dolar SG di Batam Center dengan kurs sekitar Rp6000 untuk setiap dolarnya.

Saya rasa itu cukup untuk sekedar naik MRT, makan, dan menginap di hotel-hotel kelas backpacker. Toh saya hanya akan disana selama 2 hari.

Siapa sangka jumlah dolar yang saya bawa menjadi salah satu pertanyaan petugas imigrasi di pelabuhan ferry Singapura, Harbour Front.

“Berapa hari di Singapura?”tanyanya.

“Dua hari,” sesuai rencana semula.

“Berapa uang yang dibawa?”

Hmm..agak malas juga menjawab pertanyaan ini. Tapi saya putuskan untuk menjawab jujur saja. “Dua ratus dollar,” memang itulah uang yang ada di dompet saya, selain uang rupiah sebesar 1juta.

“Memang cukup? Uang segitu tidak cukup untuk di Singapura dua hari,” katanya.

Sampai di kalimat ini saya mulai jengah. Saya yakin 200dolar SG cukup untuk kebutuhan saya. Toh saya tidak akan membeli Prada atau Chanel di negeri singa ini. Saya juga bukan bagian kelompok borjuis Indonesia yang hendak melakukan general check up di Rumah Sakit Mount Elizabeth yang terkenal itu. Saya hanya hendak jalan-jalan, memotret, dipotret, dan belanja pengalaman.

“Memang harusnya bawa uang berapa?” tanya saya.

“Paling sedikit 500 dolar untuk dua hari,” ujarnya.

“Saya punya beberapa kartu di dompet,” kata saya meyakinkan petugas. Yah, walaupun mematok budget terbatas, saya siap terhadap berbagai kemungkinan dengan satu kartu kredit dan dua kartu debet yang semuanya berlabel visa.

Petugas itu tersenyum dan memberikan stempel di paspor saya. “Mau tinggal dimana?” tanyanya.

“Tidak tahu. Baru akan mencari nanti,” saya segera tutup percakapan dengan ucapan terima kasih setelah paspor kembali ke tangan saya.

Petugas itu mengajari saya arti keyakinan.

Sudah jam 17.30 waktu Singapura. Saya harus mengejar waktu agar bisa mengambil gambar di Raffles Place saat matahari masih belum tenggelam. Di sini jam matahari tenggelam sedikit lebih lama dibanding di Indonesia.

Saya menuju stasiun MRT di lantai bawah Harbour Front. Sekarang masalah terbesar adalah bagaimana cara membeli tiket MRT dan menuju Raffles Place. Tentu saja ini hal yang benar-benar baru bagi saya.

Saya dekati seorang perempuan ABG yang menunggu sebuah counter reservasi hotel. Dia menunjukkan dimana letak mesin ticket dengan tangannya. Saya mengikuti arah tangannya, dan tetap saja salah arah.

Tiba-tiba perempuan itu mencolek punggung saya dan mengantar ke mesin. Dialah kemudian yang menunjukkan pada saya bagaimana cara membeli ticket sekaligus di stasiun mana saya harus turun nanti.

Saya ucapkan terima kasih dan sekedar bertukar nama. Sudah tak cukup waktu untuk bertukar biodata lebih banyak.

Perempuan itu memperlihatkan pada saya tentang keikhlasan.

Raffles Place

Matahari tetap tak terkejar di Raffles Place. Harapan untuk mengambil gambar si Merlion yang putih pupus sudah. Singa itu sudah terang oleh lampu. Begitu juga gedung-gedung di sekitarnya. Serba gemerlap.

Saya sempat tertegun. Jika ada disuruh mengatakan apa tidak enaknya melakukan perjalanan sendiri, saya telah menemukan jawabanya. Tidak ada orang yang akan memotret saya. Apalagi dalam keadaan tidak membawa tripod.

Ya sudahlah. Toh saya pasti akan kesini lagi. Begitu kata saya pada diri sendiri.

Tapi ternyata takdir berkata lain. Saya rasa Tuhan sengaja mengirim seorang fotografer Singapura untuk menemani saya malam ini.

Dia Danny Kwan. Saya menghampirinya saat dia tengah merapikan kamera dan tripod. Basa-basi pertama tentu saja permintaan saya agar dia mengambil gambar saya dengan menggunakan kamera saya.

Siapa sangka, sesi pemotretan berlanjut. Danny mengambil gambar saya dalam jumlah cukup banyak, bahkan mengajak saya mencari obyek yang lain.

Danny pula yang kemudian menemani saya ke Mc Donalds terdekat, mencari warnet untuk browsing alamat hotel untuk para backpacker, dan mengantar saya sampai di hotel.

Semuanya dengan berjalan kaki. Meski tidak melihat peta, rasa nyeri di pungung dan pundak saya menjadi indikator jarak yang kami tempuh tidak dekat. Saya yakin dia juga kelelahan dan bosan.

Danny mengatakan pada saya arti ketulusan dan empati.

China Town to Orchad
Saya check out dari hotel berharga 55 dolar SG sekitar jam 09.30. Teletak di kawasn China Town, saya bisa merasakan bagaimana budaya Tionghoa sangat terjaga di negeri ini.

Seseorang melintas di depan saya menggunakan sepeda. Segera saya mainkan kamera untuk mengabadikannaya. Laki-laki itu mendatangi saya lagi.

“Anda ingin memotret saya?” tanyanya ramah.

Saya menjawab ya. Dan dia langsung beraksi. Layaknya model pemotretan, setelah selesai dia meminta upahnya. “Saya orang miskin, tolong beri beberapa dollar saja,” ujarnya.

Hmm….memang tak ada yang gratis di dunia ini.

Setelah memberi beberapa dollar, saya menuju Orchad Road dengan MRT.

Saya bertanya pada seorang pemuda untuk memastikan MRT yang tepat untuk ke Orchad Road. Ternyata dia juga menuju kesana.

Kami membeli tiket bersama. Dan ketika uang pecahan terkecil yang saya miliki 10dollar, dia menyodorkan 2 keping uang 1dollar. “Tidak diusah diganti,”katanya.

Saya tersenyum. Inilah arti Pay It Forward.

Kembali Batam

Di Harbour Front, sebelum menyeberang Batam, saya harus membayar 10dolar SG sebagai pajak. Setelah membayar, saya hitung uang yang tersisa dari 200dollar SG. Masih ada 10dolar 5 sen.

Saya kembali ke Jakarta dengan pesawat jam 16.00 dari Batam.
Akhir sebuah petualangan indah. Kembali ke rutinitas dan kesibukan.

Sebuah sms masuk ketika pesawat mendarat di jakarta : Anggota KY ditangkap KPK dengan kasus tanah.

Yah, saatnya kerja kembali. Work Smart, Traveling Hard.


Batam- Singapura, 25-26 September 2007

5 comments:

Anonymous said...

Masak siy ditanyain jumal uang saku segala ky?? Kok aku ga pernah yah:)

Trian Hendro A. said...

hmm,jalan2 ke singapur juga akhirnya.

mana oleh-olehnya ky? moso foto aja hehe

Unknown said...

wah asyik banget tuh mbak...

saya juga ada rencana kesana sendirian akhir tahun ini, kalo tabungannya cukup...

hehehe...malu kalo minta ortu.

Anonymous said...

wah, keren Ki... :)

zen said...

Deuh...si Okky :-)