Tentu saja saya lebih memilih ke Kepulauan Seribu untuk snorkling dan menghirup udara laut atau ke belantara pedalaman Baduy meski harus mengalami bengkak kaki akibat berjalan terlalu jauh. Dua tempat itu cukup dekat letaknya dari Jakarta, sehingga bisa dinikmati walau hanya punya kesempatan libur dua hari.
Kalau waktu libur lebih panjang lagi - atau sengaja mengambil cuti - tentu saja Bukit Tinggi, Karimun Jawa, dan Ujung Kulon masih menempati tiga peringkat teratas. Kalaupun anggaran sedang mepet, home sweet home di Magetan dan Jogja terasa lebih nyaman.
Entah mengapa Bandung terasa kurang memiliki daya tarik. Pemberitaan di media massa pertengahan tahun 2006 tentang Bandung Lautan Sampah, berhasil membentuk image baru tentang Bandung. Bandung yang dulu terkenal sebagai kota yang dingin dengan banyak makanan enak, diidentikkan dengan sampah, panas, dan macet. Media telah menciptakan faktanya sendiri. Kata-kata terkenal si guru linguistik dari Amerika, Noam Chomsky.
Jenis liburan yang ditawarkan di kota itu juga terasa kurang pas dengan selera saya. Belanja di factory outlet, makan-makan, diakhiri dengan beli pisang molen khas Kartika Sari sebagai oleh-oleh. Asal tahu saja, saya jarang mendapatkan barang sesuai selera di FO. Meski harganya terbilang miring, menunggu discount di Sogo, Centro, atau Matahari, terasa lebih menyenangkan.
Bukan bagian dari gaya hidup jika akhirnya saya habiskan akhir pekan di Bandung. Tawaran seorang teman untuk menjadi fotografer "dadakan" dari survey yang dilakukanya, terasa sayang dilewatkan. Apalagi rute kali ini bukan lewat tol Cipularang, tapi lewat Puncak, Bogor.
Saya pun mencoba mengakrabi Bandung. Menantang diri sendiri untuk tidak menikmati kota ini hanya dari FO, Dago, atau Kartika Sari.
Saya teringat seorang wartawan senior yang satu kantor dengan saya, Agus Sopian. Kang Agus, yang seorang pegiat jurnalisme sastrawi sering membuat karya jurnalisme yang mengangkat dinamika Bandung dari sudut yang berbeda.
Pernah dia tuliskan tentang anak muda Punk yang berkembang di kota kembang. Tentu saja bukan dengan analisa tapi dengan berinteraksi dalam malam-malam panjang mereka. Karya terbarunya tentang Bandung adalah cerita tentang Saritem, sebuah lokalisasi yang cukup fenomenal di Bandung. Saya yakin, untuk mendapatkan informasi Kang Agus tidak hanya mereka-reka tapi juga menginap di Saritem.
Di satu simpang jalan di Bandung - yang bahkan tak sempat saya ketahui namanya - saya terdiam. Saya dekapkan kedua tangan tuk mengimbangi hawa dingin yang mulai terasa sambil mencari sudut-sudut baru yang luput dari perhatian.
Tak seperti Kang Agus - saya hanya tahu Bandung ternyata masih cukup nyaman untuk dinikmati. Hawa kota ini tak pernah berubah, hanya asap kendaraan yang meningkat tiap akhir pekan sehingga terasa penas. Begitu juga sampah. Mungkin wisatawan lokal dari Jakarta pula yang membuangnya.
Bukan salah Bandung juga jika promosi wisata belanja nya dilakukan dengan gencar. Meniru konsep Singapore Great Sale, Bandung menawarkan discount 50% untuk hotel dan belanja jika menggunakan kartu kredit BNI. Pantas saja, di setiap papan penunjuk jalan ada petunjuk dimana ATM BNI berada.
Lalu saya coba berhitung. Harga tiket pesawat ke Jogja tentu tak berbeda jauh dengan ongkos perjalanan ke Bandung, menginap semalam di Novotel dengan discount 50% dari kartu kredit, dan belanja.
Masih sedangkal itu pikiran dan penglihatan saya. Melihat sesuatu dari yang kasat mata dan apa yang bisa disentuh. Benarkah kata-kata Helen Kissinger, bahwa hal-hal terindah dalam hidup justru tak dapat dilihat dan disentuh, tapi hanya dapat dirasakan dengan hati?
Lalu bagaimana kita bisa menikmati keindahan setangkai anggrek tanpa melihatnya?
Bisakah hati merasakan kelembutan sutera tanpa harus menyentuhkan jari pada lembarannya?
Bisakah sebuah hubungan memberi keindahan hanya dengan dibiarkan?
Bisakah saya menikmati keindahan Bandung hanya dengan mendengar alunan musik satu group idola yang kebetulan asli dari Bandung, Kahitna:
...biar aku yang pergi
bila tak juga pasti...
...biar aku menepi
bukan lelah menanti...
*) foto-foto oleh Okky P. Madasari. Bogor -Bandung, 30 Juni 2007
5 comments:
Jika ke Bandung, aku pergi bukit Pakar. Saya sering menyambangi sebuah rumah kecil di tepi sebuah jurang. Rumah kecil itu dipenuhi buku dari pintu hingga kamar mandi.
Jika malam tiba, saya selalu mengambil salah satu buku di sana, duduk di depan rumah itu, di tubir jurang itu, sembari memandang kerlip-kerlip lampu kota Bandung yang terlihat jelas.
Saya biasa menyalakan api unggun. Menyeduh dan menyeruput kopi yang masih panas. Dan merokok kretek.
Fuihhh!
ppst-script: ya, akhirnya saya sampai juga pada bahasan itu.
kenikmatan awal menurut saya hanya bisa dirasakan oleh kasat mata, sentuhan tangan atau hirupan hidung.
dan kemudian, saat kelaziman itu ada maka kenikmatan berbeda hanya bisa dirasakan oleh hati, setiap tempat dan masa memberi warna sendiri.
oleh karenanya, sekalipun kita jauh tapi selalu saja rindu untuk pulang ke our hometown. karena rasa itu berbeda, benar kan? :)
Untuk Okky, salam kenal!
Untuk Zen dan Trian, loh kok kalian ada disini?
Dasar dunia sempit.
Bandung itu kota yang unik..tidak mudah untuk mencintainya. sama halnya dengan tidak mudah untuk melupakannya. Pertama kali tinggal di Bandung, gw benci banget sama lautan angkot dan jalan-jalan searah.
Tapi semakin lama, Bandung itu semakin menarik. Mungkin lo harus mencoba menyeruput kopi hangat dalam cuaca dingin di Selasar Sunaryo Art Space. Kalo lagi galau, gw suka ke sana hahahaha...Senang melihat lampu-lampu dari ketinggian.
Kalau lagi mau kongkow sama temen2, gw biasanya ke Potluck, bisa gosip2 sambil baca buku...kalo pengen makan siang, biasanya gw ke "foodcourt" Imam Bonjol..
kalau lagi pengen beromantis ria sama pacar, ada the Valley di Dago Pakar...Semuanya bisa dinikmati dengan kantong tipis. Beda banget ama Jakarta...suasana berharga amat mahal di sini.
Kalau pengen belanja buku dengan Harga miring, langsung aja dateng ke Pasar Palasari, Toko Buku Kecil atau Toko Buku Ultimus.
Di Bandung, lo ngga bakalan kehilangan arah untuk melangkah. selalu ada tempat untuk siapa saja.
Suasana Bandung jadi favorit saya kecuali sampah dan kemacetan karena jalan yang sempit yang harus dilalui mobil dua arah.
Dago Pakar...sempat saya mengunjunginya sekali. Memang bagus, mengingat di Surabaya tidak akan pernah ditemukan suatu tempat dengan view yang semenarik yang ditawarkan Dago Pakar. Atau mungkin empat tahun di Surabaya adalah waktu yang terlalu singkat untuk mengatakan demikian?
Dago Pakar memamng romantis, dingin, dan indah. Mengingatkan saya pada Payung di Batu Malang, hanya saja Dago Pakar lebih terkesan privat sebab jauh dari jalan raya.
Tapi memang tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan kota kelahiran. Gelap dan jauh dari keramaian, namun tetap memberi nuansa yang khas yang akan selalu kita rindukan.
Post a Comment