Seribu delapan ratus hari sejak kita langkahkan kaki memulai perjalanan ini.
Masih tergambar jelas saat kita menulis tempat tujuan, menggambar peta sederhana, memperkirakan bahaya di sepanjang jalan yang kita lewati, sekaligus membayangkan betapa indahnya tempat-tempat yang kan kita singgahi.
Kau persiapkan berbagai hal yang sama sekali tak kupikirkan. Mengapa kau pikirkan badai saat cuaca masih sangat cerah? Mengapa juga kau sarankan aku berpikir ulang tentang perjalanan ini?
"Santai lah, aku yakin tidak akan terjadi apa-apa di perjalanan," kataku.
Yah, aku percaya tak akan terjadi apa-apa sepanjang perjalanan. Semua akan aman-aman saja. Yah, aku merasa aman. Entah karena benar-benar aman atau karena aku merasa ada orang bisa diandalkan?
"Banyak hal yang akan terjadi. Kita harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan paling buruk," ujarmu.
Aku diam, tak kutanggapi. Aku sibuk dengan kamera ku. Dengan angan-angan indah tentang perjalanan hebat dan tempat tujuan yang sempurna. Perjalanan antara aku dan kamu.
Kita lewati kota-kota yang belum pernah kita datangi. Membicarakan segala hal yang kita lihat. Ada keriangan bocah yang membuat kita tertawa, pengemis tua yang mengajari kita empati dan rasa syukur, sepasang kekasih yang mengajari kita cara memahami. Segalanya indah, segalanya sempurna, tanpa keraguan dan ketakutan.
Kita juga melewati musim gugur yang dingin. Saat daun-daun meranggas dan segalanya senyap. Tak ada orang-orang yang kita jumpai di sepanjang jalan. Tak ada bunga warna-warni yang bermekaran.
Badan kita terasa lelah. Semua membosankan. Kita terdiam sepanjang jalan, namun tetap bergandengan tangan. Saat kaki ku berdarah tertusuk duri, dengan sigap kau keluarkan obat dari dalam tas mu. Perkakas yang tak kutahu sebelumnya. Saat kau mulai menunjukkan kemanjaan, aku pun membuka tangan dengan lebar. Kita bersama melawan kehampaan.
Hingga musim semi datang kembali. Saat bunga-bunga bermekaran dan orang-orang meramaikan jalan, mencipta keriangan. Dan kita percaya keindahan akan abadi hingga nanti.
Di hari ke seribu delapan ratus ini, kita memandang gurun gersang tanpa kata. Tak ada penunjuk arah, tak ada keramaian orang. Keadaan yang tak ku bayangkan sebelum nya. Inikah kemungkinan terburuk yang dulu pernah kau katakan?
Kita yakin, kota tujuan itu masih tetap ada. Tapi kaki kita tak jua beranjak. Tidak melanjutkan perjalanan, tapi juga enggan kembali ke titik keberangkatan.
Mungkin kita memang perlu diam sejenak.
Menanti burung-burung memberikan kabar.
Menunggu sinar matahari memberikan tanda.
Akankah semua menjadi seuntai kenangan?
Masih tergambar jelas saat kita menulis tempat tujuan, menggambar peta sederhana, memperkirakan bahaya di sepanjang jalan yang kita lewati, sekaligus membayangkan betapa indahnya tempat-tempat yang kan kita singgahi.
Kau persiapkan berbagai hal yang sama sekali tak kupikirkan. Mengapa kau pikirkan badai saat cuaca masih sangat cerah? Mengapa juga kau sarankan aku berpikir ulang tentang perjalanan ini?
"Santai lah, aku yakin tidak akan terjadi apa-apa di perjalanan," kataku.
Yah, aku percaya tak akan terjadi apa-apa sepanjang perjalanan. Semua akan aman-aman saja. Yah, aku merasa aman. Entah karena benar-benar aman atau karena aku merasa ada orang bisa diandalkan?
"Banyak hal yang akan terjadi. Kita harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan paling buruk," ujarmu.
Aku diam, tak kutanggapi. Aku sibuk dengan kamera ku. Dengan angan-angan indah tentang perjalanan hebat dan tempat tujuan yang sempurna. Perjalanan antara aku dan kamu.
Kita lewati kota-kota yang belum pernah kita datangi. Membicarakan segala hal yang kita lihat. Ada keriangan bocah yang membuat kita tertawa, pengemis tua yang mengajari kita empati dan rasa syukur, sepasang kekasih yang mengajari kita cara memahami. Segalanya indah, segalanya sempurna, tanpa keraguan dan ketakutan.
Kita juga melewati musim gugur yang dingin. Saat daun-daun meranggas dan segalanya senyap. Tak ada orang-orang yang kita jumpai di sepanjang jalan. Tak ada bunga warna-warni yang bermekaran.
Badan kita terasa lelah. Semua membosankan. Kita terdiam sepanjang jalan, namun tetap bergandengan tangan. Saat kaki ku berdarah tertusuk duri, dengan sigap kau keluarkan obat dari dalam tas mu. Perkakas yang tak kutahu sebelumnya. Saat kau mulai menunjukkan kemanjaan, aku pun membuka tangan dengan lebar. Kita bersama melawan kehampaan.
Hingga musim semi datang kembali. Saat bunga-bunga bermekaran dan orang-orang meramaikan jalan, mencipta keriangan. Dan kita percaya keindahan akan abadi hingga nanti.
Di hari ke seribu delapan ratus ini, kita memandang gurun gersang tanpa kata. Tak ada penunjuk arah, tak ada keramaian orang. Keadaan yang tak ku bayangkan sebelum nya. Inikah kemungkinan terburuk yang dulu pernah kau katakan?
Kita yakin, kota tujuan itu masih tetap ada. Tapi kaki kita tak jua beranjak. Tidak melanjutkan perjalanan, tapi juga enggan kembali ke titik keberangkatan.
Mungkin kita memang perlu diam sejenak.
Menanti burung-burung memberikan kabar.
Menunggu sinar matahari memberikan tanda.
Akankah semua menjadi seuntai kenangan?
0 comments:
Post a Comment