About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Tuesday, July 10, 2007

Kampung Jawara

Dua wartawan senior berdebat seru di depan saya.

Masing-masing mempertahankan pendapatnya tentang ritual ziarah dan berdoa di sebuah makam. Tema yang kurang menarik dibicarakan saat menikmati makan malam di sebuah hotel bintang empat di Serang, Banten.

Semuanya berawal dari cerita 'petualangan' saya saat meninggalkan kegiatan di hotel untuk menuju Banten Lama, wilayah yang disebut sebagai pusat kebudayaan Banten.

Di situlah terdapat sisa-sisa Istana Surosowan, yang dibangun Maulana Hasanudin dan Fatahilah. Sebuah benteng- berupa tembok tinggi- yang mengelilingi reruntuhan istana, museum, Masjid Agung Banten Lama, dan komplek makam keluarga kerajaan termasuk makam Maulana Hasanudin.

Sebagaimana makam-makam keluarga kerajaan dan pemuka agama, kompleks makam di Banten Lama selalu dipadati pengunjung. Banyak yang percaya ziarah dan berdoa di makam ini akan memberikan manfaat bagi kehidupan mereka.

Permohonan yang diucapakan di makam, diyakini akan lebih mudah terkabul dibandingkan jika hanya memohon di rumah.

Tak berbeda dengan kepercayaan terhadap makam raja-raja Mataram di Imogiri, Jogja, makam-makam Walisongo, bahkan makam Nabi di Mekah.

Orang-orang pun mulai memetik rezeki dari kepercayaan ini. Pengemis-pengemis, penjual bunga, dan yang paling parah di Banten Lama, orang mengaku sebagai ahli waris orang dalam makam dan memaksa pengunjung memasukkan uang di atas nisan. Tak hanya satu, namun setiap makam.

"Itu namanya tidak menghargai. Kalau minta uang langsung saja bilang minta. Jangan seperti itu. Dosa," kalimat pertama yang memancing perdebatan.

"Kamu pikir, berdoa di sana tidak dosa? Itu sama dosanya dengan mereka," perdebatan dimulai.

Lalu mereka semakin asyik berdebat. Berbagai ayat dan mahzab dikeluarkan. Beberapa saat saya diam, tak berusaha mengehentikan dan tak ikut memberikan pendapat.

Saya rasa percuma, karena saya tahu maksud keduanya dan saya yakin keduanya benar. Hingga akhirnya mereka berhenti berdebat dan malah tertawa.

"Sudahlah, ini soal keyakinan," celetuk salah satu.

Tampaknya keduanya paham benar tentang arti diskusi dan perbedaan pendapat. Bertukar pikiran bukan berarti menyamakan pikiran.

"Kalau menurut kamu sendiri gimana, Ky?" pertanyaan diarahkan pada saya.

Saya pun langsung menyambar umpan yang diberikan. Saya kemukakan pendapat saya. Bukan dari kacamata keduanya, melainkan dari kacamata traveller.

Sebagai wisatawan yang kesana bukan untuk ziarah atau berdoa tapi untuk menyaksikan sisa peradaban lampau, saya merasa terganggu dengan pemaksaan menaruh uang dalam nisan tersebut. Hal seperti ini jelas tidak boleh dibiarkan.

Banten, sebagai wilayah yang diidentikkan dengan para 'Jawara', harusnya memiliki masyarakat yang bermental dan bersikap sebagai 'Jawara' yang sesungguhnya. Bukan orang sok jagoan yang hanya mengandalkan kemampuan fisik dalam bentuk perkelahian untuk menyelesaikan beragam permasalahan. Mencari penghasilan dengan keahlian, pikiran, dan tenaga, bukan dengan menengadah.

Sayang jika sampai eksotisme Banten - pusat peradaban lama, 'habitat' suku Baduy, Anyer hingga Tanjung Lesung - pudar oleh tangan-tangan "jawara gadungan".

Mungkin perlu ditiru langkah Jawara Banten sesungguhnya - Gola Gong - yang telah berbuat banyak untuk masyarakat hanya dari halaman rumahnya saja. Membangun sebuah 'Rumah Dunia' dengan niat dan ketulusan.



*) foto by Okky P. Madasari. Banten, 7 Juli 2007
**) foto bawah diambil tukang ojek yang disewa satu hari. Sayang, nggak sempat nanya nama:)







4 comments:

Anonymous said...

yaaa...bener-bener mengganggu. aku pernah ke makam salah satu sunan di cirebon. Alamak....banyak betul pengemisnya. Belum lagi pengelola yang sebenernya lebih mirip preman (tabiatnya) karena mendirikan banyak pos di jalan menuju masuk makam dan memintai duit pada setiap peziarah. katanya sih sukarela, tapi kok ada biaya minimumnya yah. ck..ck..ck..ck

Unknown said...

saya senang lihat foto-fotonya. sepertinya asyik jadi traveller, bisa langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat yang sebenarnya, gak cuman bisa nonton dari tv atau baca dari buku dan internet seperti saya.

Soal yang diperdebatkan kedua wartawan senior itu, menurut saya kalau dilanjutkan akan sangat panjang. Saya ingat saya sempat berdebat hal yang sama dengan ayah saya dan berujung pada saling argumen panjang dengan membawa teori tentang sejarah, budaya dan tauhid keislaman sekaligus. Bahasan yang cukup ribet, dan saya memutuskan tak membahasnya lebih jauh sebelum saya tahu lebih dalam.

Tapi buat orang yang tidak tahu kebenaran yang sebenar2nya, akan lebih baik untuk selalu mengikuti yang dia yakini.

kholid said...

dengan diskusi akan melahirkan ide-ide hangat dan segar. sebuah aufklarung menjadi wahana peregerakan masa postmodernist-modernist, semua berawal dari pengalaman, baca dan mengilhami. saya berharap masih ada jiwa-jiwa muda yang bersentuhan langsung dengan nilai kebudayaan yang sesungguhnya karena Indonesia kaya akan kebudayaan yang jika dipertahankan maka akan melahirkan peradaban bangsa maju. dua sisi koin yang berbeda anatara timur dan barat harus menjadi sandaran ideologi bangsa ini sehingga peradaban muncul layaknya umayah, abbbasiyah dan fatimiyah dengan kebudayaannya. banten bagian dari budaya yang mesti dilestarikan ulang oleh generasi "jawara" yang sesumgguhnya. tanpa di-kooptasi oleh penguasa, tapi mampu mendobrak kejahiliyahan banten masa kini. maka, lahirlah pemuda berfikir, berjuang raih peradaban maju. semangat traveller.

Moh. Kholid Mawardhi ketua seni budaya DPP IMM.

Jawara kampung said...

wah artikel banget nih, dan blog sangat inspiratif, trims ya