DIVA. Begitu gadis cilik itu menyebut namanya. Kulit sawo matang, rambut ikal kemerahan, dengan paras yang manis. Bicaranya ceriwis, gerakanya lincah, langsung akrab dengan orang yang baru dikenal – termasuk saya.
Saya sengaja mendekatinya sembari menunggu ibunya, Suciwati, melakukan pembicaraan tertutup dengan perwakilan PBB, Hina Jilani, tentang perkembangan kasus kematian ayahnya, Munir, malam minggu kemarin.
Awalnya saya sempat ragu saat hendak memotretnya. Bisa jadi dia merasa terganggu, takut, lalu pergi meninggalkan saya. Di luar dugaan, Diva justru berpose ketika saya siapkan kamera. Dia pun tersenyum dengan aneka gaya, dalam setiap jepretan. Setelah usai, Diva mendekat dan memegang Eos 350 D saya, minta untuk ditunjukkan gambar-gambar dirinya. Murid TK itu tertawa girang, saya pun senang.
“Aku arek ngalam,” ujarnya. Sebagai orang Jawa Timur saya langsung tahu maksudnya. Arek Ngalam merupakan sebutan bagi orang yang berasal dari Malang. Kata Ngalam didapat dari Malang yang dibaca terbalik. Sama seperti bahasa prokem dagadu yang terkenal di Jogja.
“Arek ngalam iso boso jowo ra?” tanya saya.
Diva menggeleng sambil tertawa. Meski mengaku arek ngalam ternyata dia tidak bisa Bahasa Jawa. Maklum saja, Diva lahir dan besar di Jakarta. Hanya orang tuanya saja – Munir dan Suciwati – yang lahir dan besar di kota itu. Diva tentu saja sering ke Malang untuk mengunjungi Neneknya. “Disana ada Umi,” jelasnya.
Pembicaraan kami pun terus mengalir. Tentang Batu – daerah di Malang tempat Umi nya tinggal, tentang sekolahnya, juga tentang kakaknya – Alif – yang duduk di kelas 3 SD.
“Dari bicaranya kayaknya nurun Munir,” celetuk Bedjo Untung, seorang korban pelanggaran HAM tahun 1965 yang kebetulan ada juga di ruangan itu. Bedjo merupakan salah seorang dari ribuan orang yang saat itu dianggap punya hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tanpa melalui persidangan, Bedjo yang kala itu baru berusia 17 tahun dijebloskan ke dalam tahanan selama 9 tahun.
Saya mengiyakan pendapat Bedjo. Diva memang cukup kritis dan berani untuk anak seusianya. Dia mengemukakan semua pikiran dan pendapatnya dengan jujur dan lugu. Kadang-kadang orang yang mendengar dibuat terpingkal oleh omongannya.
Diva tahu Ayahnya kini telah tiada. Dia jua paham, Ibunya kini harus bekerja setiap hari – mengurangi waktu kebersamaan mereka. Namun, Diva tetap seorang anak yang belum paham teori konspirasi, permainan politik, dan pelanggaran HAM. Dia tak kenal Pollycarpus, tak tahu apa itu anggota BIN, tak juga peduli dengan Ongen.
Sebenarnya, Diva juga belum terlalu mengenal Munir. Saat aktivis HAM itu terbunuh saat terbang ke Belanda, umur Diva baru dua tahun. Usia yang masih terlalu dini untuk mengenal dan mengingat figure seseorang – termasuk orang tua sendiri.
Diva hanya mengenal sang Ayah dari foto, gambar dan ulasan di media yang terus berulang, dan patung perunggu di sudut ruangan depan kantor Kontras.
Selebihnya, Diva hanya tahu tawa dan bahagia.
Saat Suciwati, Asmara Nababan, dan Usman Hamid, menemui wartawan – usai Hina Jilani pulang – Diva pun bergabung dan duduk di pangkuan ibunya.
Ketika kamera diarahkan padanya, dengan sigap Diva langsung menghadap dan melempar senyuman, tanpa peduli apa sebenarnya yang dibicarakan.
Diva hanya tahu tawa dan bahagia.
*) foto oleh Okky P. Madasari. Kantor Kontras, Jakarta, 9 Juni 2007
4 comments:
Kalimatmu yang terakhir oke tuh.
Yang nulis postingan ini pasti perempuan!
Ah...anak kecil memang malaikat
kakak oki, mbok saya juga difoto2. saya kan juga imut kayak diva,,,he3x
huhuhuhu...kasian Diva...
Post a Comment