About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Monday, June 25, 2007

Anak Menteng

Tahun 1910, PAJ Moojen merancang kantor pusat Nillmij di Jalan Juanda, Menteng, Jakarta. Gedung itu sekarang dipakai oleh asuransi Jiwasraya.

Pada gedung inilah, untuk pertama kalinya digunakan kontstruksi beton bertulang di Jakarta. Moojen juga merancang pola jaringan jalan untuk Nieuw-Gondangdia. Pembangunan pola jaringan jalan ini menandakan pertama kalinya di Indonesia, perluasan sebuah kota dilakukan denga
n perencanaan yang matang.

Moojen merupakan anggota Dewan Kotapraja dan Commisie van toesicht op het beheer van het land Menteng (Komisi Pengawasan dan Pengurusan Tanah Menteng) atau Kondangdia-commissie. Komisi inilah yang bertugas untuk merencanakan dan membangun Nieuw-Gondangdia, nama semula untuk Menteng.

Sebelum tinggal di Jakarta, saya mengenal Menteng sebagai tempat hunian elite, tempat pejabat tinggi negara bermukim. Dinasti Soeharto yang tinggal di Jalan Cendana hingga Jalan Yusuf Adiwinata, Rumah Dinas para Jenderal - mulai dari Jenderal A. Yani, hingga Tri Sutrisno, juga Duta Besar berbagai negara.

Lalu, sebuah sinetron yang diputar pada pertengahan tahun 90 an, mengangkat kisah kehidupan anak-anak muda yang tinggal di daerah Menteng. Mereka digambarkan sebagai anak muda yang bergelimangan harta, mobil mewah yang gonta-ganti, nongkrong dari satu cafe ke cafe lain, dari mall satu ke mall yang lain. Di sisi lain, mereka juga digambarkan sebagai anak muda yang haus perhatian dan kasih sayang orang tua. Ayah sibuk bekerja, Ibu sibuk arisan.

Siapa sangka, kini saya akrab dengan daerah ini.

Lokasinya yang berada di pusat kota, mengharuskan saya melewatinya setiap hari. Menghitung pohon-pohon tua yang kokoh berdiri di setiap ruas jalannya, sesekali mengintip rumah-rumah besar yang terlihat sepi karena ditinggal penghuninya. Menteng nyaris sempurna sebagai tempat tinggal.

Saya ingat saat mengobrol dengan pakar tata kota, Marco Kusumawijaya, beberapa waktu lalu. Katanya, Menteng sejak awal dirancang dengan konsep yang matang sebagai daerah pemukiman. Saluran airnya, tamannya, pohon-pohon yang berdiri, dan penataan rumah, semua dibangun sesuai konsep.

"Makanya, nggak ada ceritanya Menteng kebanjiran," ujarnya saat itu.

Pantas saja jika Menteng menjadi sebuah hunian yang 'mahal' dan hanya mampu ditempati orang-orang berduit, seperti pejabat negara. Orang seperti saya, tentu hanya sebatas 'numpang lewat' saja.

Siapa sangka, daerah itu kini menjadi tempat nongkrong favorit saya di kota ini.

Ngobrol dilanjutkan nonton pertunjukan seni di Taman Ismail Marzuki, menikmati senja di situ Lem
bang, atau menghabiskan malam sambil berlesehan di sepanjang jalan HOS. Cokroaminoto.

Selalu berulang hingga akhirnya saya menydari satu hal. Ada orang-orang yang selalu saya temui setiap ke Menteng. Bukan keluarga Cendana yang rumahnya seanantiasa tertutup rapat, bukan pula Sutiyoso atau Jenderal-Jenderal lainnya. Juga bukan anak gaul yang digambarkan dalam sinetron.


Sekelompok anak sederhana.
Berpakaian lusuh, berbadan legam.
Yang bermain sambil bekerja.

Saya pun berpikir : Jangan-jangan mereka anak Menteng sesungguhnya.


*) foto-foto oleh Okky P. Madasari, Menteng, Jakarta

2 comments:

Eriek said...

Saya ingat ketika berada di jakarta bulan januari dan februari lalu, sempat jalan-jalan ke daerah Menteng. Kebetulan ada kakak tingkat saya tinggal di daerah itu. yang saya ingat, suasana di kala malam hari cukup ramai. ada orang asing hilir-mudik. ada gerai makan. ada tempat2 hiburan.

Kangen sekali ingin melihat Menteng dan nongkrong lagi di sebuah kedai makan :-)

kholid said...

apa yang dirasakan hampir sama dengan apa yang dirasakan oleh saya selama ini, dmna baru dua minggu saya berada dikawasan elite seperti "menteng-jakpus" penuh dengan suasana kota yang dibuat seperti sinetron. dari kantoran tugutani menteng laju menuju ciputat kesan kontras kota terlihat amat sangat. saat huiss cikini menjadi tempat diskusi kami, melanjutkan perbincangan ringan di Taman Ismail Marzuki dengan teh poci, lalu beranjak ke taman menteng yang terdapat gerai menu makanan disisirnya style kantoran, aktivis, anak muda-remaja dan para orang asing itu menjadi sebuah malam yang gemerlap tanpa da tanda siang hari. cukup bagiku nongkrong di TIM untuk diskusi kecil dengan para pemeran FTV lalu malam-malamku kuhabiskan dan kututup dengan sahur di Kondangdia..