Hari Jumat sepanjang tahun 1996, hati saya gelisah. Sekuat tenaga saya ingin hentikan gerakan matahari agar tidak segera terbenam dan terbit lagi esok pagi. Saya ingin hari ini lebih panjang. Dan kalau bisa, biarkan matahari melakukan dua putaran sekaligus sehingga saat mata terbuka esok pagi, bukan Sabtu yang saya songsong, tapi Minggu.
Sabtu sepanjang tahun itu saya merasakan bagaimana menjadi orang yang takut dan tak berdaya. Sejak kelas dimulai jam setengah tujuh pagi, klebatan baju coklat muda dan coklat tua dengan segitiga merah tertempel di lengan berlewatan di kepala. Saya melirik ke teman sebangku : sama. Ke bangku belakang dan samping : tiada beda.
Tahukah rasanya bagaimana seseorang yang phobia ketinggian tengah mengantri untuk ikut naik jet coster? Ingin melarikan diri tapi kaki tak mau diajak kompromi, berdoa tanpa tahu apa yang diminta, membayangkan tiba-tiba tubuh pingsan sehingga dapat meninggalkan gelanggang tanpa harus melakukan apa-apa. Kira-kira seperti itulah rasanya hari Sabtu saat itu. Saya yang phobia kekerasan dan senioritas menunggu bel berdering jam 3 sore, tanda dimulainya aktivitas yang wajib diikuti : Pramuka.
Terasa berlebihan memang. Apalagi jika menyimak lagi bagaimana tunas kelapa diperkenalakan pertama kali saat masih mengenakan seragam merah putih. Keceriaan, kerja sama, kegiatan luar ruangan, kemah, kekompakan regu, penjelajahan, dan menyanyi bersama. Tanpa dimintapun saya mengacungkan diri untuk ikut serta.
Semua jadi berbeda di tahun itu. Tahun pertama saya mengenakan seragam biru putih. Pramuka tak lagi bersahabat. Pramuka berarti bentakan, teriakan, push up, squat jump, amarah, dan tangisan. Semuanya berbingkai pelatihan mental. Senior yang berarti anak-anak yang duduk di kelas 2 dan 3 akan melatih mental yuniornya. Mereka memberi perintah yang kadang tak masuk akal, hanya untuk sekedar memberi hukuman. Membentak tanpa alasan hanya tuk menyiutkan nyali. Hanya karena ada senior dan yunior.
Setahun saya lewati tanpa bisa mengerti apa sebenarnya yang dicari. Ketika banyak teman yang bersorak menyambut hadirnya masa dimana mereka bisa disebut senior balas melakukan hal yang sama pada yunior, saya malah berkata tak akan ikut Pramuka lagi seumur hidup.
*****
Kemarin, kami membuat janji wawancara sambil makan siang di sebuah resto. Seorang alumni STPDN yang sekarang menjadi PNS di Pemerintah Kota Bekasi. Saya menarik nafas lega ketika dia muncul juga di depan resto, mengingat cukup alotnya proses janjian ini. “Saya orang yang cinta almamater,” ucapnya tegas di telpon.
Satu setengah jam kami berbincang. Ditemani sepiring nasi ayam goreng mentega dan segelas jus. Setiap pertanyaan diucapkannya kembali, dipikirkan beberapa menit, baru kemudian dijawab.
Kerangka tulisan yang sudah mengendap di pikiran saya luruh seketika. Seluruh kata-katanya membalikkan semuanya. Sebuah omongan yang berbeda dengan setiap hal yang saya dengar saat ini.
“Yang digambarkan media itu berlebihan, STPDN tidak seperti itu,” ujarnya.
Ia menguraikan bagaimana kekerasan dan hukuman fisik hanyalah sebuah cara untuk menegakkan disiplin. “Kalau tidak melakukan kesalahan ya tidak mungkin dihukum.”
Pun jika kekerasan terpaksa dilakukan, masing-masing senior pasti punya batasan. Mereka tidak akan memukul di bagian leher keatas yang bisa menyebabkan kematian. Jika pada akhirnya seorang Cliff Muntu atau Wahyu Hidayat meninggal, kemungkinan memang ada penyakit tertentu yang diidap tanpa diketahui.
Ia pun memaparkan bagaimana pola pendidikan di STPDN berhasil membentuk kedisiplinan, sopan santun, dan ikatan yang sangat kuat antar alumni. Saling berkunjung, datang jika ada yang menikah, dan membantu di kala ada yang tertimpa musibah.
******
Saya hapus kalimat “Bubarkan IPDN”. Bagaimanapun saya telah mendapatkan keterangan yang berbeda dengan opini saya. Saya tuliskan apa adanya, tanpa harus menindas keyakinan bahwa kekerasan, plonco, senioritas, hukuman fisik, amarah tak akan menghasilkan apa-apa.
Seekor anjing pun akan paham maksud tuan nya dengan dibelai di tengkuknya. Tak perlu dipukul dan dihajar. Bukankah manusia akan lebih bisa mengerti karena punya akal budi?
Orang tua yang bertindak bijak, penuh kasih, mengingatkan ketika ada kesalahan tanpa harus melakukan kekerasan, tentu lebih akan dihormati dan diperlakukan secara santun oleh yang lebih muda. Bukankah pada dasarnya manusia punya nurani?
Praja IPDN mungkin belum pernah merasakan harmoni yang tercipta ketika dua angkatan yang berbeda berkumpul di sebuah rumah peristirahatan, menyanyi bersama, merenung dan berbagi cerita, ditemani segelas kopi dan kacang.
Ingin menguji loyalitas? Puncak Mahameru mungkin akan menjawab semuanya. Ditempat itu nanti seorang praja nindiya akan memetik setangkai anggrek – tanda cinta dan kasih sayang – untukmu, Cliff.
*) photograph by Yusuf Arifin. Kukup, Gunung Kidul
0 comments:
Post a Comment