About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Wednesday, March 21, 2007

Berburu Warung Kopi


JAM 23.30. Hotel melati tempat saya menginap sudah senyap. Kamar sebelah yang sore tadi ramai dengan obrolan sudah gelap. Begitu juga dengan kamar lainnya. Padahal, hari ini seluruh kamar habis dipesan. Pihak hotel terpaksa menolak beberapa tamu yang hendak menginap. Maklum, long weekend. Jogja nampaknya masih menjadi pilihan banyak orang untuk berlibur. Sekedar melepaskan diri dari rutinitas dan tekanan hidup. Di parkiran hotel, nampak kendaraan dengan plat dari luar kota, seperti B, D, atau L.

Bukan tanpa alasan, jika kami bertiga malah keluar dari hotel menjelang tengah malam. Kami ingin menghirup udara malam Jogja. Lagipula ini malam minggu. Kemeriahan pasti akan dijumpai dimana-mana meski malam telah larut. Selain itu, kami punya tujuan jelas : coffee shop. Tempat tongkrongan favorit saya – selain angkringan.

Warung Kopi, Angkringan, Wedangan, hingga Coffee Shop dan Café. Semuanya punya fungsi sama. Randezvous. Refreshing. Kebutuhan untuk bersosialisasi dan melakukan pertemuan. Berbincang sembari menyeruput minuman dan menikmati kudapan. Sekedar melepaskan penat sembari menikmati alunan musik. Sederhana, tapi bukan di rumah, tidak di kampus, atau di kantor. Tempat yang berbeda.

Waktu yang sama, hari yang sama, udara yang sama, di kota yang juga sama. Namun ketika berada di sebuah café sembari menikmati slow music, untuk sejenak sebuah dunia baru tercipta. Maka, tak heran, jika sebelumnya ke café berarti bertemu dengan orang lain, kini bukan hal yang aneh jika seseorang duduk di sebuah café seorang diri. Tanpa merasa canggung atau malu. Bahkan, bisa jadi tak peduli pada orang-orang sekitarnya. Dia bisa sekedar membaca atau melamun. Tidak ada yang melarang. Dan kadang do it nothing seperti itu memang menyenangkan dan dibutuhkan.

Coffee shop
menjadi salah satu agenda wajib tiap ke Jogja. Kapan lagi bisa menikmati segelas coklat white cream, dengan harga Rp 8 ribu. Saya pilih coklat karena saya memang tidak suka minum kopi – meski mengaku sebagai pecinta coffee shop. Di Jakarta, paling tidak harus mengeluarkan Rp 35 ribu untuk menikmati minuman bersuasana café. Sebut saja sederet nama café di Jakarta mulai dari Sturbucks, Coffee Bean, Bakoel Cafe, atau café-café di mal-mal yang sebenarnya belumlah terkenal.

Atoz merah yang kami tumpangi langsung menuju ke Gejayan. Ada cafe di daerah tersebut yang menjadi favorit saya : Snap Café. Kelebihan café ini dibanding yang lainnya adalah balkonnya. Di situ pengunjung bisa menikmati minuman sambil merasakan semilirnya angin. Salad buah menjadi favorit saya kalau kesana. Harganya Rp 8.500. Cukup terjangkau juga.


Begitu sampai, kamipun langsung masuk ke ruangan utama. Sebuah sofa merah, alunan musik, dan beberapa waitress yang nampak menganggur. “Maaf mbak, sudah tutup,” ujarnya pelan. “Tutup?” saya tak percaya. Betapa tidak, dalam benak saya, coffee shop – sebagaimana angkringan dan warung kopi – merupakan bagian dari kehidupan malam. Baru buka sore hari hingga lewat tengah malam bahkan menjelang pagi.


Kami tak buang banyak waktu. Mungkin Snap Café memang punya kebiasaan sendiri. Segera kami bergerak mencari café lainnya. Melintasi Jalan Solo – yang kini telah banyak kehilangan wajah Jogja nya – hanya ada dua café yang masih buka. Itupun pengunjungnya sangat membludak tanpa menyisakan tempat lagi buat kami. Memang sih, ada beberapa café yang masih hangar bingar. Sepertti TJ’s atau Hugos. Tapi tentu saja bukan café seperti itu yang kami cari.


Menuju daerah Sagan, tepatnya ke Koa Café. Semuanya sudah gelap gulita. Bangunanya keliatan suram-sebagamana aslinya bangunan tua di daerah tersebut. Sungguh wajah yang sangat berbeda jika dibandingkan suasana empat jam sebelumnya. Gabah Resto yang berada tepat di sebelahnya juga sudah tutup.


Saya sudah hampir putus asa. Daftar ingatan nama-nama coffe shop di Jogja kembali dibuka. Djendela, Coffee break, Kedai Kopi, dan beberapa nama di daerah atas. Terlalu membuang waktu untuk ke daerah atas. Akhirnya kami menjadikan café di sekitar selokan Mataram sebagai alternatif terakhir. Jika tidak ada, lupakan coffee shop. "Mungkin memang hanya angkringan the truly coffee shop," kata teman saya pasrah.


Hanya ada satu café di selokan yang masih buka. Cheers café. Itupun dengan pengunjung yang sangat penuh. Baru beberapa langkah dari mobil, seorang waitress menghampiri dan mengatakan bahwa café hanya buka sampai pukul 00.30. Berarti tinggal 15 menit lagi.


Lagi-lagi gagal. Tinggal satu kemungkinan lagi, Lorkali Café. Salah satu tempat favorit sejak zaman kuliah, yang hanya beberapa meter jaraknya dari Cheers Café. Berkunjung ke Lorkali, tentu tak bisa dilepaskan dari dua nama : Dody dan Manahara. Di café ini, dulu kami rela mengeluarkan uang – yang saat itu terasa sangat mahal – hanya untuk mencari perhatian sang public relations. Bahkan, Dodi sengaja memesan satu meja di café ini khusus untuk menaklukan hati sang calon mertua sebagai kado pernikahan.


Dan malam ini, ternyata hanya Lorkali yang berjodoh dengan kami. Itupun dengan embel-embel : café hanya buka sampai jam 02.00. Tak masalah, mungkin hanya ini yang bertahan di Jogja. Meski banyak wajahnya yang telah terganti, akar budayanya masih tak tergantikan. Jam malam di Jogja tak perlu sama dengan Jakarta. Biarkan seperti adanya. Justru perbedaan itu lah yang selalu saya rindukan. Kalaupun kami nekat mencari warung kopi lewat tengah malam, itu tak lebih dari sebuah ekspresi kerinduan - bukan kekurangajaran dan ketidakpahaman pada budaya setempat.


Saya pun hanya terbahak ketika seorang kawan di Jogja mendengar cerita saya berburu café beberapa hari sesudahnya. “Busyed, Asuuu, disamain Jakarta aja,” tulisnya lewat Yahoo Massenger.

*) Picture by Okky P. Madasari. Lorkali Cafe, Jogjakarta, 17 Maret 2007