Monday, March 31, 2008
Sidang Sandiwara
Adakah kebenaran dalam pentas sandiwara?
Pertama kali saya melihat persidangan lewat televisi, pada pertengahan tahun 1990, ketika saya masih duduk di sekolah dasar. Sekilas saja, karena hanya bagian kecil dari sebuah film. Biasanya adegan pembacaan vonis seorang penjahat oleh hakim yang berpakaian toga hitam-hitam. Hanya sekilas saja, karena persidangan itu bukan bagian utama cerita film itu sendiri.
Potongan adegan itu memberi saya pemahaman, persidangan di pengadilan adalah hukuman bagi orang-orang jahat. Orang-orang yang telah membunuh orang, mencuri, atau memerkosa. Jaksa dan hakim dengan toga hitamnya adalah orang-orang baik. Si pencari kebenaran, pemberi keadilan.
Tahun-tahun berikutnya, ketika saya duduk di bangku sekolah menengah, saya mulai menyaksikan persidangan dalam porsi yang sedikit lebih banyak. Meskipun tetap melalui televisi. Beberapa film atau serial dengan kisah utama proses persidangan mulai saya kenal pada masa-masa itu. Diantaranya adalah serial Ally Mc Beal atau Judge Bao.
Referensi saya mulai bertambah. Tidak selamanya orang yang dibawa ke persidangan adalah orang-orang jahat. Dalam beberapa kisah detektif ditunjukan, bagaimana seseorang sering dijebak atau terjebak sebagai pelaku pembunuhan. Dia ada di lokasi pembunuhan, sidik jari di tubuh korban, dan tidak ada saksi seorang pun. Padahal, kebetulan saja di berada di lokasi tersebut saat pembunuhan terjadi.
Dalam keadaan seperti inilah muncul pahlawan baru. Seorang pengacara. Mereka tampil sebagai pembela kebenaran. Membantah dakwaan jaksa, meyakinkan pendapat hakim. Mereka mengajukan segala bukti dan saksi. Dan mereka yang menang.
Persidangan dan pengadilan dalam potongan adegan layar kaca menjelaskan permasalahan kehidupan dengan sederhana. Benar atau salah. Pahlawan atau penjahat. Hitam atau putih. Semua dalam satu sudut pandang : kebenaran adalah apa yang nanti dikatakan oleh hakim.
Saat ini - beberapa tahun setelah saya menjadi salah satu penganut logika sederhana itu - saya terjebak dalam adegan persidangan yang seutuhnya. Tidak lagi melalui film ataupun potongan berita sekilas di layar televisi.
Masih ada hakim dan jaksa berpakaian toga, orang yang melakukan kejahatan di kursi terdakwa, dan tentu saja pengacara yang siap membela. Persidangan tidak hanya adegan pembacaan putusan hakim atau penampilan prima pengacara yang mampu mematahkan semua dakwaan jaksa.
Persidangan adalah penyatuan segala skenario. Skenario jaksa, skenario pengacara, skenario pesakitan, skenario saksi, hingga akhirnya skenario hakim. Masing-masing mengemukakan kebenaran dari sudut pandangnya. Sulit melihat mana yang hitam, mana yang putih.
Rokhmin Dahuri, misalnya, tampil sebagai korban sistem. Seorang menteri yang tak tahu apa-apa, melanjutkan kebijakan menteri sebelumnya, lalu membagi uang yang bukan hak nya untuk berbagai pihak. Calon presiden, politisi, mahasiswa, wartawan, hingga korban bencana.
Irawady Joenoes, melakonkan peran seorang detektif. Seorang agen rahasia yang hendak membongkar kasus penyuapan dengan cara menerima suap.
Dalam kasus lain yang belum masuk ruang sidang, Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani yang tertangkap basah melakukan serah terima uang Rp6 miliar, menyusun skenario jual beli permata.
Ruang persidangan menjadi saksi, bagaimana masing-masing skenario saling diadu dan diuji kebenarannya. Hingga pada akhirnya Hakim membacakan skenario yang mereka susun sendiri. Sebuah kebenaran akhir yang disusun berdasarkan skenario-skenario sebelumnya.
Sebuah film Hollywood yang saat ini tengah diputar di bioskop - Vantage Point - menyajikan dengan sangat apik bagaimana skenario dari berbagai orang bertemu di satu titik : kebenaran.
Film ini bercerita tentang aksi terorisme yang hendak melakukan pembunuhan pada Presiden Amerika. Yang menarik, film ini menampilkan 13 menit sebelum penembakan terjadi dari sudut pandang masing-masing pelaku. Sudut pandang media, pengawal Presiden, Presiden, pelaku teror, hingga seorang turis yang kebetulan tengah melancong di Spanyol.
Film ini menyindir dengan sangat tepat bahwa apa yang kita ketahui hanya setitik bagian dari kebenaran itu sendiri. Termasuk fakta bahwa yang disampaikan media hanya selaput tipis paling luar dari kenyataan yang sesungguhnya.
Lalu bagaimana dengan skenario kebenaran versi hakim? Adakah juri bagi hati nurani?
Labels:
human being,
my Country
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
juri bagi hati nurani?
ga tau juga ya...
tapi 'seharusnya' yang berperan menjadi juri adalah hati nurani itu sendiri..
sayang keserakahan sudah menyusupi lebaga yuridis kita..
sy selalu membayangkan, orang2 yg kerja di pengadilan adalah orang yg paling berat tanggung jawabnya karena mereka harus selalu menjaga hati nurani. sedangkan, hal yg demikian sangat sulit dilakukan.
Post a Comment