About Me

My Photo
Okky Madasari
Menulis, memotret, merangkai nada, dan menikmati perjalanan adalah hobi tercinta saya. Blog ini hanya kamar penuh serakan gambar dan kata, jejak-jejak pengalaman dan peristiwa. Hak cipta tulisan dan gambar ada pada pemilik blog. Selamat membaca.
View my complete profile

Wednesday, February 06, 2008

Dear, Pantai Bukan Lagi Milik Kita...

"pantai bukan lagi milik kita.."
trus milik siapa dong?Itu satu komentar yang masuk ketika saya mengirim satu post card dari Bali, dalam postingan 30 Januari lalu. Post Card itu bergambar suasana Ku De Ta - sebuah resto pinggir pantai di Seminyak, Bali. Ku De Ta adalah resto menengah atas dengan menu barat. Tempat ini lebih menjual keindahan suasana pantai dibandingkan menunya sendiri.

Dalam post card itu, saya menulis "Dear, pantai bukan lagi milik kita...". Pantai adalah milik para pemodal. Memang tidak semuanya. Tapi juga tidak menutup kemungkinan kian lama kita hanya akan mengais apa yang tersisa.

Di Ku De Ta, pantai adalah surga. Keindahan pantai ini melebihi pantai publik di Kuta, Sanur, Tanah Lot, atau Lovina. Airnya yang biru jernih, ombak besar yang memanjakan pecinta surfing, pasir putih yang bersih, dan tentu saja suasana tenang alami karena hanya orang-orang tertentu yang bisa datang kesini. Lebih tepatnya orang yang makan di Ku De Ta. Tak ada akses ke pantai kecuali melalui pintu Ku De Ta.

Konsep seperti ini juga diterapkan berbagai hotel bintang lima di daerah Nusa Dua. Surga tersembunyi di halaman belakang Nikko, Westin, atau Ayodya. Tempat yang sering kita lihat di brosur wisata atau kartu pos Bali yang dijual di super market. Meski tertulis berlokasi di Nusa Dua, kita tidak akan pernah menjumpai tempat-tempat itu jika tidak melalui pintu hotel.

Dreamland, pantai yang saat ini menjadi buah bibir dan agenda wajib kunjungan di Bali, juga bagian dari kerja pemilik modal. Pantai itu menjadi bagian dari kompleks real estate, lapangan golf, dan mungkin juga hotel yang saat ini proses pembangunannya sedang berlangsung. Konon, Dreamland merupakan bagian dari anak perusahaan Grup Humpuss milik Tommy Soeharto.

Di pantai ini saya bermain papan luncur dan berbaring di pasir memadu kasih dengan matahari Bali. Jika nanti pembangunan telah selesai, saya tak yakin Dreamland masih akan bisa dinikmati sebebas ini.

"Di Bali kalau mau yang indah dan eksklusif harus punya duit banyak," kata seorang kawan.

Awalnya saya membantah. Tapi sepuluh hari di Bali dengan 2 hari terakhir perjalanan menyusuri ujung selatan ke ujung utara membuat saya ikut menyetujui pendapat itu.

Sepuluh hari di Bali juga menyisakan tanya yang hingga kini masih belum terjawab. Di pulau dewa yang begitu termasyhur sejak lama, kenapa penduduk aslinya tak jua sejahtera? Cukup puaskah mereka hanya dengan memijit turis asing di pinggir pantai atau menjadi pelayan restoran yang pemiliknya berada di negara antah berantah?

Bali, 23 Januari-3 Februari 2008

1 comments:

Anonymous said...

duh kalo ke bali tuh antara sedih dan seneng. seneng karena pantainya indah, tapi sedihnya karena kita gak lagi leluasa menikmati pantai yg udah dikavling sama hotel-hotel di sana.
jadi inget kasus di Lombok. Nelayan di sana menyerang sebuah hotel karena membatasi pantai yg biasanya dijadikan tempat sandar kapal2 nelayan.
Gimana ya ini??? hiksss