Apa yang menakutkan bagi seorang perempuan muda yang berpendidikan, modern, memiliki karier gemilang, dan tentu saja mapan? Kadaluwarsa atau kalau dalam bahasa inggris disebut expired - sebagaimana yang sering tertulis di label makanan. Istilah yang berarti telah melewati batas waktu penggunaan yang semestinya.
Menjadi kadaluwarsa berarti tidak enak lagi dinikmati bahkan bisa membahayakan kesehatan. Sesuatu yang kadaluwarsa tidak akan lagi diminati orang, apalagi dibeli. Karenanya, yang sudah kadaluwarsa akan teronggok begitu saja, kalah bersaing dengan yang belum kadaluwarsa. Hingga akhirnya yang kadaluwarsa menghilang atau sengaja dibuang. Benarkah?
Setidaknya itulah kebenaran bagi Bapak dan Ibu Paduko. Pasangan Jawa yang masih kental mempertahankan kejawaannya. Orang tua miskin yang dengan kerja keras dan doa bisa mengantarkan anak perempuannya – Narsih - mencapai tangga kesuksesan. Narsih pun bermetamorfosis sesuai keadaannya saat ini. Namanya diganti dengan Narcici agar terdengar lebih keren. Tinggal di apartemen di belantara metropolitan – terpisah dengan orang tuanya yang tinggal di kampung. Menjalani kehidupan urban yang serba kemilau dan hangar bingar, namun sesungguhnya terjebak dalam kesepian dan keterasingan.
Hingga akhirnya Narcici menjalin cinta hingga kumpul kebo dengan Fauzi – Dokter muda spesialis kandungan, ganteng, kaya, lulusan luar negeri, dan pintar memikat perempuan. Sosok laki-laki yang sering dijadikan standart ideal masyarakat masa kini. Tak ada yang menduga kalau sesungguhnya Fauzi juga bersedia melakukan praktik aborsi, seorang playboy yang tidur dengan banyak perempuan termasuk pasiennya, dan tipe pria yang tidak mau membuat komitmen termasuk menikah.
Tentu tak ada yang tahu Narcici dan Fauzi telah tinggal bersama – termasuk orang tuanya. Yang diketahui Bapak dan Ibu Duko, Narcici berpacaran dengan Fauzi – lelaki yang terlihat sempurna itu. Sudah dua tahun –terlalu lama menurut mereka. Apalagi usia Narcici alias Narsih sudah tidak muda lagi. Keponakan mereka yang usianya sama dengan Narcici saja tengah hamil anak ketiga. Maka tak ada alasan lain untuk tidak segera menikah. Sebelum jadi kadaluwarsa. Sebelum jadi bosok.
Perempuan bukan Makanan
Itulah penggalan cerita yang diangkat dalam pementasan teater Miss Kadaluwarsa produksi EKI Production yang pentas di Gedung Kesenian Jakarta 23 – 27 Mei lalu. Saya sendiri menonton pada malam minggu – hari yang menurut penyelenggara paling banyak penontonnya. Terbukti dari penuhnya kursi di ruang pertunjukan. Dalam hati saya berpikir apakah ini semata hanya karena malam minggu atau karena pertunjukan teaternya yang benar-benar bagus? Atau jangan-jangan karena promosinya yang cukup gencar dengan pemain selebritis seperti Uli Herdiansyah dan Sarah Sechan?
Dua jam lebih pertunjungan berlangsung. Dari awal hingga akhir, tepuk tangan dan tawa penonton selalu mengiringi. Tampak sekali penonton sangat mengerti apa yang dipertunjukkan. Dan yang lebih penting, cerita yang diangkat sangat dekat dengan kehidupan nyata yang kemungkinan besar dialami juga oleh sebagian penonton. Itulah menurut saya kuncinya.
Menonton Miss Kadaluwarsa seperti sedang menyimak drama kehidupan mereka sendiri terutama bagi penonton perempuan. Miss Kadaluwarsa menggambarkan bagaimana ‘ribetnya’ menjadi perempuan dengan segala tata nilai dan tradisi. “Kewajiban” untuk menikah pada waktunya adalah salah satunya.
Perempuan yang memiliki segalanya – karier, prestasi, dan kehidupan yang menyenangkan – tidak ada artinya jika tidak menikah. Norma telah membentuk perkawinan sebagai kewajiban yang harus dilakukan dan bukan sebagai pilihan yang dilakukan karena dibutuhkan. Dan perempuan harus memasuki jenjang tersebut pada usia yang – meski tidak tertulis – telah dianut masyarakat sebagai usia yang semestinya untuk menikah. Jika melewati batas usia itu, perempuan tersebut telah kadaluwarsa.
Saya teringat perbincangan Pak Duko dengan Narcici pada epilog teater ini. Pak Duko yang akhirnya menyadari kesalahannya, menggunakan wine sebagai analogi. Minuman yang terbuat dari anggur ini tidak mengenal batas kadaluwarsa. Bahkan makin lama rasanya enak dan harganya makin mahal. Narcici pun menyahut. Dengan sinis dia berkata, saking mahalnya tidak akan ada yang mampu membeli wine itu. Sebuah kenyataan juga : Ada kadaluwarsa yang tidak dibeli karena tidak enak tapi ada juga kadaluwarsa yang sangat enak tapi tidak dibeli karena harganya sangat mahal.
Tapi benarkah perempuan – sebagaimana wine dan makanan lainnya – bisa kadaluwarsa?
Perempuan memang punya jam biologis. Kodratnya untuk melahirkan keturunan memberikan batasan-batsan usia dimana kemampuan itu ada, berakhir, atau bahkan belum dimulai. Karenanya kemudian ada masa-masa yang secara ilmiah terbukti terbaik untuk memiliki keturunan termasuk untuk kemudian memberikan ASI. Hanya alasan itulah yang menurut saya layak dijadikan alasan bagi perempuan untuk ‘mengejar target’ menikah. Kecuali jika memang dia telah memilih untuk tidak punya keturunan.
Lupakan mitos, lupakan tradisi, dan lupakan apa kata orang. Menikah dan memutuskan kapan akan menikah adalah sebuah pilihan termasuk dengan konsekuensi yang mengikutinya. Tidak ada yang kadaluwarsa selama seorang perempuan terus berkarya dan melakukan banyak hal untuk banyak orang. Kecuali jika dia sengaja memilih menjadi kadaluwarsa dengan hanya teronggok dan tak berguna hingga akhirnya menghilang.
Menjadi kadaluwarsa berarti tidak enak lagi dinikmati bahkan bisa membahayakan kesehatan. Sesuatu yang kadaluwarsa tidak akan lagi diminati orang, apalagi dibeli. Karenanya, yang sudah kadaluwarsa akan teronggok begitu saja, kalah bersaing dengan yang belum kadaluwarsa. Hingga akhirnya yang kadaluwarsa menghilang atau sengaja dibuang. Benarkah?
Setidaknya itulah kebenaran bagi Bapak dan Ibu Paduko. Pasangan Jawa yang masih kental mempertahankan kejawaannya. Orang tua miskin yang dengan kerja keras dan doa bisa mengantarkan anak perempuannya – Narsih - mencapai tangga kesuksesan. Narsih pun bermetamorfosis sesuai keadaannya saat ini. Namanya diganti dengan Narcici agar terdengar lebih keren. Tinggal di apartemen di belantara metropolitan – terpisah dengan orang tuanya yang tinggal di kampung. Menjalani kehidupan urban yang serba kemilau dan hangar bingar, namun sesungguhnya terjebak dalam kesepian dan keterasingan.
Hingga akhirnya Narcici menjalin cinta hingga kumpul kebo dengan Fauzi – Dokter muda spesialis kandungan, ganteng, kaya, lulusan luar negeri, dan pintar memikat perempuan. Sosok laki-laki yang sering dijadikan standart ideal masyarakat masa kini. Tak ada yang menduga kalau sesungguhnya Fauzi juga bersedia melakukan praktik aborsi, seorang playboy yang tidur dengan banyak perempuan termasuk pasiennya, dan tipe pria yang tidak mau membuat komitmen termasuk menikah.
Tentu tak ada yang tahu Narcici dan Fauzi telah tinggal bersama – termasuk orang tuanya. Yang diketahui Bapak dan Ibu Duko, Narcici berpacaran dengan Fauzi – lelaki yang terlihat sempurna itu. Sudah dua tahun –terlalu lama menurut mereka. Apalagi usia Narcici alias Narsih sudah tidak muda lagi. Keponakan mereka yang usianya sama dengan Narcici saja tengah hamil anak ketiga. Maka tak ada alasan lain untuk tidak segera menikah. Sebelum jadi kadaluwarsa. Sebelum jadi bosok.
Perempuan bukan Makanan
Itulah penggalan cerita yang diangkat dalam pementasan teater Miss Kadaluwarsa produksi EKI Production yang pentas di Gedung Kesenian Jakarta 23 – 27 Mei lalu. Saya sendiri menonton pada malam minggu – hari yang menurut penyelenggara paling banyak penontonnya. Terbukti dari penuhnya kursi di ruang pertunjukan. Dalam hati saya berpikir apakah ini semata hanya karena malam minggu atau karena pertunjukan teaternya yang benar-benar bagus? Atau jangan-jangan karena promosinya yang cukup gencar dengan pemain selebritis seperti Uli Herdiansyah dan Sarah Sechan?
Dua jam lebih pertunjungan berlangsung. Dari awal hingga akhir, tepuk tangan dan tawa penonton selalu mengiringi. Tampak sekali penonton sangat mengerti apa yang dipertunjukkan. Dan yang lebih penting, cerita yang diangkat sangat dekat dengan kehidupan nyata yang kemungkinan besar dialami juga oleh sebagian penonton. Itulah menurut saya kuncinya.
Menonton Miss Kadaluwarsa seperti sedang menyimak drama kehidupan mereka sendiri terutama bagi penonton perempuan. Miss Kadaluwarsa menggambarkan bagaimana ‘ribetnya’ menjadi perempuan dengan segala tata nilai dan tradisi. “Kewajiban” untuk menikah pada waktunya adalah salah satunya.
Perempuan yang memiliki segalanya – karier, prestasi, dan kehidupan yang menyenangkan – tidak ada artinya jika tidak menikah. Norma telah membentuk perkawinan sebagai kewajiban yang harus dilakukan dan bukan sebagai pilihan yang dilakukan karena dibutuhkan. Dan perempuan harus memasuki jenjang tersebut pada usia yang – meski tidak tertulis – telah dianut masyarakat sebagai usia yang semestinya untuk menikah. Jika melewati batas usia itu, perempuan tersebut telah kadaluwarsa.
Saya teringat perbincangan Pak Duko dengan Narcici pada epilog teater ini. Pak Duko yang akhirnya menyadari kesalahannya, menggunakan wine sebagai analogi. Minuman yang terbuat dari anggur ini tidak mengenal batas kadaluwarsa. Bahkan makin lama rasanya enak dan harganya makin mahal. Narcici pun menyahut. Dengan sinis dia berkata, saking mahalnya tidak akan ada yang mampu membeli wine itu. Sebuah kenyataan juga : Ada kadaluwarsa yang tidak dibeli karena tidak enak tapi ada juga kadaluwarsa yang sangat enak tapi tidak dibeli karena harganya sangat mahal.
Tapi benarkah perempuan – sebagaimana wine dan makanan lainnya – bisa kadaluwarsa?
Perempuan memang punya jam biologis. Kodratnya untuk melahirkan keturunan memberikan batasan-batsan usia dimana kemampuan itu ada, berakhir, atau bahkan belum dimulai. Karenanya kemudian ada masa-masa yang secara ilmiah terbukti terbaik untuk memiliki keturunan termasuk untuk kemudian memberikan ASI. Hanya alasan itulah yang menurut saya layak dijadikan alasan bagi perempuan untuk ‘mengejar target’ menikah. Kecuali jika memang dia telah memilih untuk tidak punya keturunan.
Lupakan mitos, lupakan tradisi, dan lupakan apa kata orang. Menikah dan memutuskan kapan akan menikah adalah sebuah pilihan termasuk dengan konsekuensi yang mengikutinya. Tidak ada yang kadaluwarsa selama seorang perempuan terus berkarya dan melakukan banyak hal untuk banyak orang. Kecuali jika dia sengaja memilih menjadi kadaluwarsa dengan hanya teronggok dan tak berguna hingga akhirnya menghilang.
27 Mei 2007
10.35 pm
foto-foto oleh Doddi AF, Gedung Kesenian Jakarta
2 comments:
Saya percaya, tak ada kata tua buat perempuan.
doddi af yang memotretmu itu apakah dia bernama lengkap doddi ahmad faudzi?
Post a Comment