*)photograph by Okky P. Madasari, Kepulauan Seribu
Saya percaya laut dan langit tidak berbatas. Tak seperti tanah yang diukur manusia dengan meter, hektar, petak, kemudian menjadi milikku, milikmu, dan miliknya, dengan batas pagar besi atau tumbuhan yang sengaja ditanam berderet dan tinggi.
Kalaupun laut kemudian diukur menjadi 12 mil atau 200 mil, disebut perairan negara, perairan bebas, atau perairan yang hanya bisa diambil sumber daya alamnya saja, semata-mata hanya sebuah batas imajinasi – tanpa pagar atau tumbuhan tinggi - yang sengaja dibuat untuk mempermudah penggambaran dalam peta.
Dalam perjalanan ke Kepulauan Seribu di lepas pantai utara Jakarta akhir pekan lalu, saya menyadari laut ternyata berbatas. Bukan batas yang hanya bisa dibayangkan dan dihafalkan, melainkan penanda yang nyata, bisa dilihat dan dirasakan.
Warna air dan kesegaran udara menjadi penanda dua wilayah, dua budaya, dan dua peradaban yang berbeda. Jakarta yang sesak, kotor, penuh polusi, dan tengah memaksakan diri menjadi kota modern, dengan Kepulauan Seribu (tentu saja kecuali Pulau Bidadari) yang masih bisa memempertahankan keindahan pesonanya.
Jika laut berwarna keruh, coklat kehitaman dan bukan biru jernih kehijauan, kapal belumlah terlalu jauh dari Jakarta atau kalaupun sudah memasuki Kepulauan Seribu pasti baru berada di sekitar Pulau Bidadari, Pulau Khayangan, atau Pulau Untung Jawa. Sampah yang mengapung di di permukaan juga bisa menjadi petunjuk dimana kita berada. Di sekitar Jakarta, laut bak tempat sampah raksasa yang bisa menampung apa saja. Begitu juga udara yang kita hirup dan warna langit. Bau asap pabrik, udara yang pekat dan langit berwarna abu-abu masih mengikuti kita hingga di tengah lautan. Berkilo-kilo meter atau sekitar satu jam perjalanan dari Muara Angke, Jakarta.
Ketika warna laut perlahan membiru bersamaan dengan hilangnya udara pekat dan bau asap, “kompas pikiran” kita akan berkata : Kita telah cukup jauh dari Jakarta dan semakin masuk ke perairan Kepulauan Seribu.
Menikmati tanpa Mengurangi
*) Photograph by Luther Kambaren,Kepulauan Seribu
Menikmati malam di Pulau Pramuka dan menghabiskan dua hari berendam di tengah laut sambil menikmati keindahan “dunia lain” di bawah permukaan laut. Karang, coral, ikan beraneka warna, ganggang, hinga tumbuhan beraneka rupa yang tidak mungkin kita lihat di kebun raya sekalipun.
Keindahan yang kadang juga menyimpan bahaya. Seperti bulu babi yang siap menusuk dan membuat gatal sekujur tubuh atau ubur-ubur yang akan membuat panas kulit yang tersentuh. Kadang juga terbesit imajinasi liar seekor hiu tiba-tiba datang dan mengamuk karena merasa ada yang mengusik habitatnya. Kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Namun bukankan alam dan manusia selalu diciptakan berdampingan? Alam akan memberikan berjuta pesonanya jika manusia mau bersahabat dan mengenal lebih jauh apa yang diinginkan dan apa yang tidak disukai alam. Taman laut memberi kesempatan bagi manusia untuk datang dan menikmati keindahan, bukan untuk mengambil satupun bagian ekosistem yang ada dengan alasan untuk dibudidayakan, diteliti, atau dijadikan kenangan.
Maka ketika salah satu dari kami jatuh cinta pada sebuah bintang laut warna biru, kami cukup puas hanya dengan mengabadikannya sebentar, lalu segera mengembalikkannya ke tempat semula. Kami tak ingin ketika minggu depan atau bulan depan ke tempat ini lagi bintang biru tidak dapat lagi dijumpai.
Dengan kesadaran yang sama pula, kami bawa satu kantong sampah hingga kembali ke Jakarta. Laut bukanlah tempat sampah raksasa tapi sebuah kotak harta karun yang mesti terjaga. Puas rasanya, ketika akhirnya kami buang sampah itu di sebuah tempat sampah di Terminal Grogol, Jakarta. Semoga petugas kebersihan tidak membawanya lagi ke laut.
3 comments:
jeng, yg gak ada batasnya itu lautan imajinasi; ekstrem ke eksterm smuanya ada. tinggal frekuensi gelombang mana yg mo disetel :D
nice enough this blog!
Tau tidak, dua orang yang sangat menyadari lautan bagi negeri ini justru orang-orang yang dilahirkan di pedalaman yang jauh dari semilir angin laut yang asin: Ir. Djuanda dan Gadjah Mada. Jika ada waktu, coba buka arsip tulisan bulan Agustus 2006 di blogku. Judul ceritanya LAUT DAN IRONI ANAK PEDALAMAN!
Post a Comment